Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
Solusi Palsu
Sebagian pihak menilai bahwa RUU EBET merupakan solusi palsu transisi energi karena memberikan ruang bagi energi fosil tetap eksis dalam jangka waktu panjang. Padahal seharusnya RUU ini dibuat untuk memastikan percepatan transisi energi berkeadilan demi mengurangi emisi karbon melalui berbagai insentif yang konkret.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengatakan masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.
“Teknologi yang disebut “energi baru” saat ini bukanlah barang baru, karena sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu,” jelasnya beberapa waktu lalu.
Contohnya teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara yang sudah dipakai Jerman sejak perang dunia kedua, carbon capture and storage sudah diuji coba di PLTU di Kanada dan Amerika tapi gagal.
Dukungan terhadap energi baru ini memberikan sinyal untuk mempertahankan energi fosil seperti batu bara lebih lama di sistem energi dan menggantungkan dekarbonisasi pada opsi yang belum terbukti padahal ada energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan.
Baca Juga: Kementerian ESDM Bocorkan Program Transisi Energi yang Dapat Kucuran Dana JETP
Padahal, pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batu bara akan menghasilkan emisi CO2 dua kali lipat dibanding pembangkit listrik dari gas alam. Selain pencemaran udara, pengembangan energi baru berdampak kepada kualitas air.
Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL menilai, Indonesia memerlukan aturan tentang energi terbarukan yang detail dan bisa memberi kepastian hukum untuk mengisi kekosongan yang belum diatur di UU yang sudah ada.
“Namun sayangnya substansi RUU EBET belum menjawab persoalan urgensi transisi energi,” ujarnya.
RUU EBET juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun sayangnya, RUU ini tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan.
Pada dasarnya, hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen). Riset yang ada saat ini menunjukkan, baru 1% green hydrogen yang dikembangkan di seluruh dunia–selebihnya masih dari energi fosil.
“Kita perlu pengaturan yang jelas dalam RUU ini jenis hidrogen seperti apa yang akan kita kembangkan agar tidak salah arah. Sayangnya, RUU EBET gagal untuk membahas hal ini,” tutur Grita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News