Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) digadang-gadang bisa memberikan angin segar pada pengembangan energi hijau di Tanah Air.
Eksekutif dan legislatif negara gencar mempromosikan kebijakan yang diklaim mampu memfasilitasi seluruh pengembangan energi bersih di Indonesia ini. Namun pelaku usaha dan ahli justru menilai aturan ini berpotensi menjegal transisi energi dan pengembangan energi terbarukan (ET) di Tanah Air.
Perjalanan RUU EBET cukup panjang. Rancangan aturan ini telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2019-2024 dan telah menjadi Prolegnas Prioritas Tahun 2019, 2020, 2021 dan 2022. Di tahun ini, RUU EBET telah memasuki babak baru yakni dibahas oleh Panitia Kerja (Panja).
Kabar terbaru, proses Panja berjalan cukup alot di bagian Energi Baru seperti nuklir dan gasifikasi batubara.
Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana, mengakui pembahasan energi baru agak rumit karena energi yang bersifat heavy carbon. Akibatnya, Kementerian ESDM belum bisa memastikan target penyelesaian RUU EBET lantaran melihat kondisi rapat.
Baca Juga: Tidak Didukung Kebijakan, Industri Modul Surya di Ujung Tanduk
“Kami inginnya begitu (selesai di tahun ini) tapi gak tau sih baru seperti itu, masih banyak isu nuklir, kelembagaan, transisi energi juga masih dibahas. Terutama energi baru ini,” ujarnya saat ditemui di Gedung DPR RI (2/2).
Saat dihubungi kembali melalui pesan teks pada Rabu (15/2), Dadan mengatakan sampai saat ini Panja RUU EBET yang dilakukan antara Tim Panja DPR RI dan Tim Panja Pemerintah masih terus berlangsung .
Secara substansi, RUU EBET meliputi sejumlah poin, yakni transisi energi dan peta jalan, sumber EBET, nuklir, perizinan berusaha, penelitian, dan pengembangan. Kemudian peraturan ini juga akan mengatur mengenai harga EBET, dukungan Pemerintah, dana EBET, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pembagian kewenangan, pembinaan dan pengawasan, serta partisipasi masyarakat.
Namun, peraturan yang dibuat sebagai solusi dari setiap persoalan pengembangan energi baru dan energi terbarukan ini menimbulkan pro-kontra di kalangan pejabat dan pelaku usaha.
Ambil contoh saja, skema power wheeling. Awalnya, skema pemanfaatan jaringan listrik bersama ini masuk ke dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET versi pemerintah. Namun pada menit-menit terakhir Kementerian ESDM mencabut skema ini dalam DIM.
Ada keberatan dari berbagai pihak karena skema power wheeling dituding merugikan negara terkhusus PT PLN.
Namun saat ini, Komisi VII bersikeras untuk meloloskan skema ini ke dalam RUU EBET melalui jalan tengah.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menjelaskan, sistem penjualan listrik di Indonesia banyak penjual (multiple seller) tetapi yang membeli hanyalah PT PLN. Skema power wheeling, akan menciptakan pasar jual-beli listrik yang lebih hidup di mana ada multiple seller dan multiple buyer.
“Kami merasa skema power wheeling itu penting untuk mengakselerasi industri EBT. Kalau kami andalkan PLN saja maka akan memakan waktu lama, sekarang kan PLN masalahnya oversupply. Akan ada 7 Gigawatt (GW) yang akan masuk kebanyakan listrik dari fosil,” jelasnya saat ditemui di Jakarta, Senin (6/2).
Akibat kelebihan pasokan listrik, pengembangan EBT pun dinomorduakan. Eddy memaparkan PLN bersikeras agar skema power wheeling tidak diterapkan karena khawatir listrik yang luber ini akan lama terserap karena pihak lain mungkin akan lebih memilih menggunakan listrik bersih.
Untuk mengatasi persoalan ini, Komisi Energi pun mencoba jalan tengah dengan memperbolehkan skema ini diterapkan pada daerah yang sulit dijangkau dan belum memiliki jaringan PLN. Eddy berharap, upaya ini bisa menjadi solusi yang bisa diterima oleh pemerintah.
Namun, jalan tengah ala Komisi VII ini pun bukanlah solusi yang mudah diterapkan lantaran membangun jaringan di daerah terpencil butuh investasi yang besar.
“Jadi saya kira ini masalah tersendiri. Tapi dasarnya yang akan kami capai di situ, antara kita dengan pemerintah supaya di daerah yang masih sulit dijangkau belum ada jaringan PLN kita berikan kesempatan untuk pihak ketiga membeli energi,” ujarnya.
Baca Juga: Bauran Energi Terbarukan Masih Jauh dari Target 2025, Ini Strategi Kementerian ESDM
Selain skema power wheeling, RUU EBET juga akan memfasilitasi pemerintah memberi penugasan pada perusahaan setrum pelat merah maupun swasta untuk membeli listrik bersih. Skema ini sejatinya telah dijalankan di India melalui Renewable Purchase Obligation (RPO).
Jika berkaca dengan implementasi RPO di India, pemerintah India mengamanatkan semua pemegang lisensi distribusi listrik membeli atau memproduksi jumlah minimum yang ditentukan dari kebutuhan dari sumber energi terbarukan.
Negeri Bollywood ini memberlakukan penetapan persentase minimum dari total konsumsi listrik di area pemegang lisensi distribusi. Pembelian listrik ini akan menggunakan instrumen sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC).
Pada Dokumen Draft DIM RUU EBET yang diterima Kontan.co.id, Pasal 44 Ayat 1 tertulis bahwa Badan Usaha di bidang penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan yang menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) setelah Undang-Undang ini berlaku harus memenuhi standar portfolio energi terbarukan. Jika Badan Usaha tidak memenuhi standar portofolio Energi Terbarukan, maka Badan Usaha wajib membeli sertifikat energi terbarukan (REC).
Dadan Kusdiana menyatakan terkait skema semacam RPO dalam RUU EBET diatur dengan terminologi "standar portofolio energi baru dan energi terbarukan" yaitu standar minimum yang diterapkan kepada Badan Usaha yang membangkitkan listrik dari Sumber Energi Tak Terbarukan untuk menyediakan listrik dari Sumber Energi Baru dan Sumber Energi Terbarukan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif meyakini RUU EBET diperlukan sebagai regulasi komprehensif demi menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan berkeadilan.
“Di samping untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE), RUU EBET juga mendukung pembangunan green industry dan pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (24/1).
Menteri ESDM berharap setelah terbitnya RUU EBET dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan energi hijau dan program pendukungnya. Selain itu, dia berharap kebijakan ini dapat memfasilitasi optimalisasi sumber daya EBT, memperkuat kelembagaan dan tata kelola EBT, serta menciptakan iklim investasi kondusif bagi investor energi hijau.
Tidak Sama Dengan Ekspektasi Pelaku Usaha
Meski pemerintah dan Komisi VII DPR RI begitu semangat dan percaya diri dengan RUU EBET, pelaku usaha energi terbarukan justru tidak begitu yakin melihat kebijakan yang sedang dibahas ini.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, menilai format RUU EBET saat ini belum bisa mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
“Karena kalau saya lihat mendalam RUU ini tidak secara lengkap membangun ekosistem energi terbarukan mulai dari pendanaan, insentif, dan penciptaan industrinya. Padahal energi terbarukan ekosistemnya harus terbentuk,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (13/2).
Fabby menilai kebijakan ini tidak bisa memicu pengembangan energi terbarukan di Indonesia karena mencampuradukkan antara Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Dia mengusulkan agar RUU EBET dirombak total, paling tidak mengeluarkan poin energi baru dan fokus membahas pada energi terbarukan saja. Dengan begini, kebijakan khusus energi terbarukan bisa fokus membahas insentif, pembiayaan, pengembangan industri dan pasar.
“Kalau itu dilakukan, baru ada harapan,” ujarnya.
Dia mencontohkan kebijakan energi yang diambil India yang dengan jelas memerinci target jangka panjang, diturunkan menjadi program nasional hingga ke unit terkecil di negaranya. Lewat cara ini, India bisa mendatangkan banyak investor energi terbarukan di sana.
Sedangkan, Indonesia dinilai masih jauh dari pelaksanaan itu. Fabby mencontohkan, belum dimasukkan dalam DIM RUU EBET saja power wheeling yang bisa meningkatkan supply demand listrik sudah menjadi polemik.
AESI menilai, pemerintah terlalu fokus pada permasalahan kelebihan listrik PLN yang berdampak 3-4 tahun mendatang. Sedangkan Undang-Undang yang berdampak hingga 10 tahun hingga 20 tahun ke depan perlu lebih diperhatikan.
Board of Director International Geothermal Association (IGA), Surya Darma mengkaji dari substansi yang sekarang muncul dalam RUU EBET, dia menilai tampaknya masih banyak yang menjadi kekhawatiran para pelaku industri energi terbarukan dan juga panas bumi.
Harapan adanya kepastian hukum dan kepastian harga yang memberikan nilai keekonomian nampaknya belum muncul dalam RUU EBET.
“Bahkan RUU ini sudah tampak seperti Omnibus Law yang memasukkan berbagai hal dari energi dalam RUU EBET ini. Padahal yang dibutuhkan adalah sebuah payung hukum yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pengusahaan energi terbarukan,” tegasnya.
Sebut saja kebijakan yang diperlukan ialah kepastian pengadaan energi terbarukan, harga jual listrik yang dapat memberikan kepastian usaha dan keekonomian. Kemudian dapat menggalang dana energi terbarukan, dapat menghasilkan mekanisme transaksi nilai karbon dan sertifikat energi terbarukan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang menyampaikan, diterbitkan suatu RUU yang menjadi dasar payung hukum implementasi pengembangan energi baru terbarukan selayaknya memberikan kepastian hukum yang diperlukan investor.
“Jadi APLSI menyambut baik dan mendukung disahkannya RUU EBET,” ujarnya.
Solusi Palsu
Sebagian pihak menilai bahwa RUU EBET merupakan solusi palsu transisi energi karena memberikan ruang bagi energi fosil tetap eksis dalam jangka waktu panjang. Padahal seharusnya RUU ini dibuat untuk memastikan percepatan transisi energi berkeadilan demi mengurangi emisi karbon melalui berbagai insentif yang konkret.
Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengatakan masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.
“Teknologi yang disebut “energi baru” saat ini bukanlah barang baru, karena sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu,” jelasnya beberapa waktu lalu.
Contohnya teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara yang sudah dipakai Jerman sejak perang dunia kedua, carbon capture and storage sudah diuji coba di PLTU di Kanada dan Amerika tapi gagal.
Dukungan terhadap energi baru ini memberikan sinyal untuk mempertahankan energi fosil seperti batu bara lebih lama di sistem energi dan menggantungkan dekarbonisasi pada opsi yang belum terbukti padahal ada energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan.
Baca Juga: Kementerian ESDM Bocorkan Program Transisi Energi yang Dapat Kucuran Dana JETP
Padahal, pengembangan pembangkit listrik dari gasifikasi batu bara akan menghasilkan emisi CO2 dua kali lipat dibanding pembangkit listrik dari gas alam. Selain pencemaran udara, pengembangan energi baru berdampak kepada kualitas air.
Grita Anindarini, Deputi Direktur ICEL menilai, Indonesia memerlukan aturan tentang energi terbarukan yang detail dan bisa memberi kepastian hukum untuk mengisi kekosongan yang belum diatur di UU yang sudah ada.
“Namun sayangnya substansi RUU EBET belum menjawab persoalan urgensi transisi energi,” ujarnya.
RUU EBET juga mengatur hidrogen sebagai bagian dari energi baru. Namun sayangnya, RUU ini tidak menjelaskan secara detail sumber-sumber hidrogen yang akan menjadi fokus pengembangan.
Pada dasarnya, hidrogen dapat berasal dari sumber energi fosil (grey hydrogen) maupun sumber energi terbarukan (green hydrogen). Riset yang ada saat ini menunjukkan, baru 1% green hydrogen yang dikembangkan di seluruh dunia–selebihnya masih dari energi fosil.
“Kita perlu pengaturan yang jelas dalam RUU ini jenis hidrogen seperti apa yang akan kita kembangkan agar tidak salah arah. Sayangnya, RUU EBET gagal untuk membahas hal ini,” tutur Grita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News