Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
Fabby menilai kebijakan ini tidak bisa memicu pengembangan energi terbarukan di Indonesia karena mencampuradukkan antara Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Dia mengusulkan agar RUU EBET dirombak total, paling tidak mengeluarkan poin energi baru dan fokus membahas pada energi terbarukan saja. Dengan begini, kebijakan khusus energi terbarukan bisa fokus membahas insentif, pembiayaan, pengembangan industri dan pasar.
“Kalau itu dilakukan, baru ada harapan,” ujarnya.
Dia mencontohkan kebijakan energi yang diambil India yang dengan jelas memerinci target jangka panjang, diturunkan menjadi program nasional hingga ke unit terkecil di negaranya. Lewat cara ini, India bisa mendatangkan banyak investor energi terbarukan di sana.
Sedangkan, Indonesia dinilai masih jauh dari pelaksanaan itu. Fabby mencontohkan, belum dimasukkan dalam DIM RUU EBET saja power wheeling yang bisa meningkatkan supply demand listrik sudah menjadi polemik.
AESI menilai, pemerintah terlalu fokus pada permasalahan kelebihan listrik PLN yang berdampak 3-4 tahun mendatang. Sedangkan Undang-Undang yang berdampak hingga 10 tahun hingga 20 tahun ke depan perlu lebih diperhatikan.
Board of Director International Geothermal Association (IGA), Surya Darma mengkaji dari substansi yang sekarang muncul dalam RUU EBET, dia menilai tampaknya masih banyak yang menjadi kekhawatiran para pelaku industri energi terbarukan dan juga panas bumi.
Harapan adanya kepastian hukum dan kepastian harga yang memberikan nilai keekonomian nampaknya belum muncul dalam RUU EBET.
“Bahkan RUU ini sudah tampak seperti Omnibus Law yang memasukkan berbagai hal dari energi dalam RUU EBET ini. Padahal yang dibutuhkan adalah sebuah payung hukum yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pengusahaan energi terbarukan,” tegasnya.
Sebut saja kebijakan yang diperlukan ialah kepastian pengadaan energi terbarukan, harga jual listrik yang dapat memberikan kepastian usaha dan keekonomian. Kemudian dapat menggalang dana energi terbarukan, dapat menghasilkan mekanisme transaksi nilai karbon dan sertifikat energi terbarukan.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang menyampaikan, diterbitkan suatu RUU yang menjadi dasar payung hukum implementasi pengembangan energi baru terbarukan selayaknya memberikan kepastian hukum yang diperlukan investor.
“Jadi APLSI menyambut baik dan mendukung disahkannya RUU EBET,” ujarnya.