kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45895,55   2,12   0.24%
  • EMAS1.333.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sambut baik satgas pengawas, APNI berharap aturan HPM bisa terealisasi


Senin, 17 Agustus 2020 / 15:16 WIB
Sambut baik satgas pengawas, APNI berharap aturan HPM bisa terealisasi
ILUSTRASI. Tambang nikel


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyambut baik terbentuknya satuan tugas (satgas) pengawasan tata niaga dan harga nikel domestik, melalui terbitnya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nomor 108 tahun 2020 tentang tim kerja pengawasan pelaksanaan Harga Patokan Mineral (HPM) nikel.

Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey berharap, dengan terbentuknya tim kerja pengawasan tersebut, aturan tata niaga nikel domestik yang mengacu pada HPM bisa terealisasi. Dengan begitu, penambangan dengan prinsip good mining practice juga bisa terlaksana.

"Semoga dengan hadirnya tim Satgas HPM, pelaksanaan HPM benar-benar dipatuhi oleh seluruh pelaku nikel, baik penambang maupun smelter," kata Meidy kepada Kontan.co.id, Senin (17/8).

Baca Juga: Tebitkan aturan, Menko Luhut bentuk tim kerja awasi harga nikel domestik

Pasalnya hingga bulan Agustus ini, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 tahun 2020 yang mengatur tentang tata niaga nikel domestik berdasarkan HPM belum juga terealisasi. Menurut Meidy, transaksi bijih nikel dari penambang ke perusahaan smelter belum mengacu HPM tapi masih berdasarkan business to business (b to b).

"Sampai hari ini sih belum ada kontrak baru yang sudah sesuai HPM. Mungkin harus disosialisasikan dulu Kepmenko 108/2020 sehingga semua pelaku nikel baik penambang dan Smelter paham dan jelas," ujar dia.

Transaksi bijih nikel domestik yang mengacu pada HPM dimaksudkan untuk menciptakan tata niaga yang lebih berkeadilan. Sebelumnya, APNI memprotes bahwa tata niaga nikel domestik merugikan penambang, yang bahkan tak jarang harga transaksi lebih rendah dari Harga Pokok Produksi (HPP) bijih nikel.

Meidy sempat memberikan gambaran, untuk bulan Juli 2020 HPM bijih nikel untuk kadar 1,8% ditetapkan sebesar US$ 30,15 per wet metric ton (wmt) dengan skema penjualan Free on Board (FOB).

Namun menurutnya, harga yang dibeli oleh smelter lokal jauh di bawah itu, yakni sebesar US$ 20 per wmt secara FOB atau US$ 27 per wmt dengan memakai skema Cost, Insurance, and Freight (CIF).

Harga itu masih di bawah Harga Pokok Produksi (HPP). Kata dia, biaya untuk memproduksi nikel kadar 1,8% sekitar US$ 21,79 per ton dan estimasi biaya pengapalan antara US$ 5-US$ 6. Maka biaya CIF mencapai US$ 26,79-US$ 27,79 per wmt.

Baca Juga: Pemerintah bentuk Satgas Pelaksana HPM nikel, begini tanggapan AP3I

Adapun, HPM logam nikel yang tercantum dalam Permen ESDM No. 11/2020 merupakan harga batas bawah (floor price) yang harus ditaati oleh penambang dan smelter. Sekalipun harga transaksi lebih rendah dari HPM pada periode tertentu atau karena ada penalti atas mineral pengotor (impurties), penjualan dapat dilakukan di bawah HPM dengan selisih paling tinggi 3%.

Untuk memastikan berlakunya HPM pada tata niaga nikel, pemerintah membentuk tim kerja pengawasan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menerbitkan Keputusan Menko Marves Nomor 108 tahun 2020, pada 13 Agustus 2020.

Beleid tersebut menyebutkan, tim kerja tersebut melakukan tugas teknis pengawasan terhadap transaksi jual beli bijih nikel antara pelaku usaha pertambangan dan smelter. Ada tujuh cakupan tugas dari tim kerja tersebut.

Pertama, memastikan harga yang digunakan dalam transaksi jual/beli bijih nikel sesuai dengan HPM. Kedua, memastikan bijih yang diperjualbelikan merupakan bijih yang ditambang dari wilayah IUP yang telah berstatus Clean and Clear serta sesuai dengan kontrak yang disepakati.

Ketiga, memberantas aktivitas traders yang merugikan bagi pelaku usaha pertambangan dan pengguna akhir bijih nikel. Keempat, memastikan perusahaan surveyor yang digunakan oleh pihak penjual dan pembeli bijih telah terdaftar di kementerian/lembaga, serta telah melaksanakan kegiatan usahanya sesuai standar dan ketentuan yang berlaku.

Kelima, memastikan perusahaan pertambangan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan tambang yang baik dalam wilayah IUP-nya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta memastikan perusahaan pengolahan dan pemurnian melaksanakan manajemen kesehatan dan keselamatan kerja, pengelolaan lingkungan, serta perdagangan yang baik.

Baca Juga: Asosiasi penambang keluhkan harga jual bijih nikel yang tak sesuai HPM

Keenam, memantau laporan kepatuhan atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2020 yang disampaikan secara triwulanan oleh pelaku usaha pertambangan dan pelaku usaha pengolahan dan pemurnian. Ketujuh, memberikan rekomendasi kepada Kementerian dan Lembaga berwenang untuk memberikan sanksi terhadap pihak yang melanggar.

Merujuk pada lampiran beleid tersebut, pengarah tim kerja terdiri dari pimpinan kementerian dan lembaga terkait. Yakni Menko Marves, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Sedangkan ketua tim kerja pelaksana adalah Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves. Wakil Ketua tim ini terdiri dari Direktur Jenderal (Dirjen) Minerba Kementerian ESDM; Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin; Dirjen Ketahanan, pewilayahan, dan akses industri internasional Kemenperin; Dirjen Perlindungan konsumen dan tertib niaga Kemendag; Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu; dan Deputi Bidang Promosi penanaman modal BKPM.

Sedangkan anggotanya terdiri dari pihak Kemenko Marves (10 perwakilan), Kementerian ESDM (10 perwakilan), Kemenperin (6 perwakilan), Kementerian perdagangan (3 perwakilan), Kemenkeu (4 perwakilan) dan BKPM (6 perwakilan).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×