Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai perlu adanya satu institusi penuh yang mengurus persoalan sawit.
Pasalnya, selama ini memang urusan sawit tampak tumpang tindih karena banyaknya Kementerian/Lembaga yang menaunginya.
Khudori menjelaskan, banyaknya campur tangan kebijakan soal sawit bukannya membuat industri ini terurus dengan baik, namun hal-hal mendasar selama bertahun-tahun tak terselesaikan.
Baca Juga: Gapki Soroti Kampanye Negatif terhadap Produk Kelapa Sawit di India dan Pakistan
“Ini karena egosektoral masih kental. Masing-masing K/L kekeh pada tupoksinya. Sementara tantangan yang dihadapi dan mesti direspons segera oleh otoritas kebijakan makin kompleks dan rumit,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (7/7).
Khudori mengungkapkan, Indonesia bisa mencontoh kompetitor industri sawit yakni Malaysia, di mana di sana ada satu institusi yang menangani segala urusan soal sawit. Memang, Indonesia memiliki Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawti (BPDPKS), namun itu hanya mengurus soal pungutan ekspor (levy) dan penggunaannya.
“Sementara kebijakan di hulu, tengah hingga hilir ada di belasan K/L.,” ungkap dia.
Dia menyebutkan, tantangan industri sawit Indonesia bukan dari eksternal saja yang bernuansa perang dagang, namun tantangan internal juga tak kalah rumit.
Menurutnya, produktivitas kelapa sawit Indonesia tak bergerak alias stagnan, salah satu penyebabnya ialah usia tanaman yang tua dan perlu dilakukan penanaman baru (replanting) terutama pada perkebunan sawit rakyat.
Baca Juga: Harga CPO Beranjak Naik, Ini Prospek Kinerja Emiten Sawit
“Tapi serapan Program Sawit Rakyat (PSR) amat kecil dan lambat seperti bekicot. Pemerintah sudah tahu apa akar masalahnya, yang paling krusial ya status lahan yang menurut versi KLHK ada di kawasan hutan, lebih dari 3 juta hektare (ha),” tuturnya.
Dia bilang, meski permasalahan sudah ada di depan mata mengapa tak segera dituntaskan, menurutnya ini bukan salah petani sawit, namun kebijakan yang berubah-ubah sehingga merugikan rakyat.
“Pasti kalau ada satu otoritas, hal-hal begini lebih mudah diselesaikan. Ada kebutuhan mendesak untuk mentransformasikan sawit kita agar lebih produktif, berdaya saing dan memberikan nilai tambah tinggi,” terangya.
Baca Juga: Pemerintahan Baru Diharapkan Perkuat daya saing, dan Lindungi Sawit
Lebih lanjut, Khudori menambahkan, peningkatan produktivitas sawit tak bisa ditawar, begitu juga dengan hilirisasi produk-produk olahan sawit dengan pendalaman industri yang lebih lanjut agar tercipta nilai tambah yang lebih tinggi.
“Saat ini sumbangan sawit terhadap neraca perdagangan pertanian dan perdagangan secara umum cukup besar. Kalau kinerja industri sawit tak berubah dan maju cepat, amat disayangkan,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News