Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) telah menjadi penyakit menahun di Indonesia. Kerap penyelesaian persoalan ini tidak disarkan pada bukti ilimiah melainkan berdasarkan asumsi atau tekanan kelompok tertentu dan LSM yang merugikan pihak-pihak tertentu.
Karena itu, pembuktian kebakaran hutan berdasarkan bukti ilmiah atau scientific evidece perlu dipertimbangkan agar memberikan rasa keadilan bagi semua pihak.
Baca Juga: Cegah kebakaran hutan & lahan, pemegang konsesi harus dibebani tanggung jawab
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud, mengatakan, pemerintah setuju bila penegakan hukum dalam penyelesaian kasus karhutla, namun penyelesaiannya di persidangan tetap harus melalui bukti ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Menurut Musdalifah, scientific evidence sangat penting sebagai dasar penyelesaian sengketa kahutla agar putusan hukumnya punya rasa keadilan.
"Selama bertahun-tahun, penyelesaian karhutla hanya sepihak yakni menggiring opini bahwa perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri sebagai penyebab utama karhutla,” kata Musdalifah dalam The 2nd International Conference on Natural Resources Environmental Conservation bertema Industrial Forest and Oil Palm Plantation Fire, Impacts and valuation of the Environmental Losses, di Bogor Jumat (29/11)..
Menurut Musdalifah, karhutla di Indonesia tidak terkait dengan pembukaan lahan sawit. Selain faktor manusia, bencana alam seperti el Nino serta peran dari tanggung jawab pengelola kawasan menjadi penting dalam penanganan karhutla.
Musdalifah mengusulkan agar penyelesaian karhutla bisa diprioritaskan pada deteksi dini (early warning) dan pencegahan. Kalau melihat polanya, umumnya karhutla terjadi dalam 3-4 bulan dalam setahun.
Baca Juga: Lahan gambut di OKI masih terbakar meski diguyur hujan 1,5 jam
Direktur Penegakan Hukum Pidana Ditjen Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Yazid Nurhuda mengatakan, pentingnya pembuktian ilmiah menjadi dasar dan bukti hukum dalam konteks beracara di pengadilan agar menjadi solusi dalam penyelesaian karhutla di Indonesia. Karena itu, peran dari para saksi ahli yakni para akademisi menjadi sangat penting.
“Berdasarkan sampel hasil uji laboratorium, saksi ahli akan menetapkan scientific evidence menjadi legal evidence melalui surat keterangan saksi ahli. Hal ini akan menjamin kepastian hukum,” ujar dia.
Wakil Rektor IPB Agus Purwito mengingatkan perlunya kajian berbasis data ilmiah untuk menyelesaikan kasus kebakaran hutan di Indonesia.
“Kajian ilmiah diperlukan agar berbagai persoalan yang jadi penyebab kebakaran bisa diselesaikan. Pasalnya, karhutla di Indonesia tidak hanya merugikan dari sisi investasi, tetapi banyak hal seperti kesehatan manusia dan hubungan antara negara.”
Baca Juga: Gerak semu matahari sebabkan cuaca panas, ini tiga daerah dengan suhu tertinggi
Bangun Pemahaman Indonesia
Director of Tropical Peat Research Laboratory Unit (TPRL) Malaysia Lulie Melling mengatakan, isu mengenai karhutla dikaitkan dengan keberadaan perkebunan sawit menjadi isu yang menarik di forum global.
Hanya sayangnya, selama ini pemahaman mengenai gambut tropis didominasi pemahaman barat. Hal ini mengakibatnya kesenjangan pemahaman yang berakibat penyelesaian restorasi gambut serta penanganan karhutla di gambut tidak efektif.
Seharusnya perlu dibangun pemahaman baru dari para pemangku kepentingan di Indonesia dengan melibatkan peran petani pekebun sawit dengan kearifan lokalnya.
Baca Juga: Kadin dorong industrialisasi berbasis agroindustri
“Cara pencegahan dengan membangun pemahaman bersama di Indonesia lebih efektif dan tidak membutuhkan banyak biaya dibandingkan penanggulangan karhutla di gambut.”
Lulie menyarankan, pemerintah Indonesia perlu terbuka dalam restorasi lahan gambut dan tidak hanya terfokus pada pembasahan gambut (rewetting). Lulie berpendapat rewetting sia-sia jika tidak dilakukan pemadatan (compaction). Tehnik pemadatan punya sisi baik karena mampu mencegah api di dalam gambut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News