Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dibanding dengan sejumlah negara lain, penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Rooftop alias PLTS Atap di Indonesia masih tertinggal. Kendati begitu, pemakaian PLTS Atap semakin diminati. Hal itu terlihat dari jumlah PLTS Atap terpasang yang naik cukup signifikan baik secara bulanan maupun tahunan.
Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Aneka EBT Kementerian ESDM Martha Relitha Sibarani memaparkan, penggunaan PLTS Atap terus bertambah hingga mencapai 1.580 pelanggan hingga Desember 2019. Ia menerangkan, pada Januari 2018 jumlah pengguna PLTS Atap baru 351 pelanggan, lalu meningkat menjadi 609 pelanggan hingga akhir 2018. Artinya, secara tahunan jumlah pengguna PLTA Atap meningkat lebih dari dua kali lipat.
Baca Juga: Konsumsi listrik di China berpotensi turun akibat corona, ini kata emiten batubara
"Kalau melihat perkembangan di dunia, kita memang ketinggalan. Namun penggunaan energi surya atap ini kita lihat tumbuh signifikan," kata Martha dalam acara Customer Sharing Session manfaat PLTS Atap bagi pelaku industri dan bisnis, Rabu (26/2).
Martha merinci, dilihat dari sebaran wilayah, Jakarta Raya masih mendominasi dengan 516 pengguna, disusul oleh Jawa Barat dengan 397 pengguna dan Banten dengan 395 pengguna PLTS Atap. Adapun, total kapasitas terpasang PLTS Atap berjumlah 4.929,81 Kilowatt peak (kWp) atau sekitar 4,92 Megawatt (MW).
Sementara itu, dilihat dari golongan/tarif pelanggan PT PLN (Persero), pemakaian PLTS Atap terbanyak berasal dari golongan rumah tangga dengan 1.404 pelanggan dan sektor bisnis sebanyak 120 pelanggan. Selanjutnya, fasilitas pemerintah yang sudah memakai PLTS Atap berjumlah 34 pengguna dan fasilitas sosial sebanyak 18. Sedangkan dari sektor industri baru ada 4 pelanggan yang memakai PLTS Atap.
Martha tak menampik, salah satu penyebab penggunaan PLTS Atap yang masih mini di sektor industri terjadi lantaran kurang menariknya pengenaan biaya kapasitas (capacity charge). Namun, sejak akhir tahun lalu, pengenaan biaya kapasitas itu telah diubah, dengan rumusan: kapasitas total inverter (kW) x 5 jam x tarif tenaga listrik.
Baca Juga: Lewat anak usahanya, Indika Energy (INDY) mulai ekspansi tambang emas Awak Mas
"Industri salah satu kendalanya capacity charge, dan itu Permen (Peraturan Menteri ESDM) baru keluar akhir tahun lalu, mereka baru merasakan," sambungnya.
Martha mengklaim, pihaknya akan terus mendorong penggunaan PLTS Atap sembari mencermati perkembangannya. Ia bilang, pemerintah akan melihat kendala-kendala apa saja yang menghambat pemakaian PLTS Atap, dan solusi alternatif apa yang bisa diberikan. Termasuk dengan mengubah regulasi jika diperlukan.
Martha menggambarkan, pada November 2018 lalu pihaknya telah menerbitkan Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang penggunaan sistem PLTS Atap oleh konsumen PT PLN (Persero). Dengan mempertimbangkan sejumlah masukan, kata Martha, beleid tersebut kemudian diubah dua kali dalam Permen ESDM Nomor 13 Tahun 2019 dan Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2019.
"Kami melihat dulu kendalanya seperti apa, apa yang bisa kami pertimbangan. Ada beberapa hal yang kami lakukan untuk meningkatkan pemanfaatan PLTS Atap," sebutnya.
Baca Juga: PLN: 1.790 gardu terdampak banjir kembali menyala
Kendati begitu, Martha mengakui bahwa masih sulit untuk memberikan insentif agar harga bisa lebih terjangkau, misalnya melalui pemberian bunga ringan untuk kredit pembelian PLTS Atap. Sebab, skema pembiayaan seperti itu berada di bawah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Meski demikian, Martha mengklaim bahwa pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan OJK, dan mendorong agar perbankan bisa memberikan kemudahan kredit dalam bentuk Energy Green Fund. "ESDM mendorong itu, namun itu nanti di OJK terkait green fund agar perbankan memberi bunga murah," sebutnya.
Baca Juga: Kata Luhut, Ahok menemukan banyak masalah di Pertamina
Pasalnya, meski tren harga global untuk PLTS Atap terus menurun, tapi harga PLTS Atap di Indonesia masih terbilang tinggi. Saat ini harga untuk 1 kWp berkisar di angka Rp 15 juta - Rp 20 juta.
Untuk itu, sambung Martha, pemerintah juga terus mendorong agar industri dalam negeri bisa memproduksi PLTS Atap. Saat ini, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) baru mencapai 40%. Martha menyebut, pemerintah akan memetakan potensi pasar untuk mendorong demand, sehingga industri PLTS Atap dalam negeri bisa terbentuk. "Kita petakan untuk membuka pasar, agar semakin banyak usaha yang berkembang," sebutnya.
Adapun, Kontan.co.id sebelumnya memberitakan, Kementerian ESDM elah menyiapkan anggaran sekitar Rp 175 miliar untuk membangun PLTS Atap di 800 titik di seluruh Indonesia pada tahun ini.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Harris mengatakan, program pemerintah tersebut diharapkan dapat menambah kapasitas PLTS Atap sebesar 6 MW di tahun ini.
Baca Juga: Pembangkitan Jawa-Bali (PJB) campurkan batubara dengan energi terbarukan di lima PLTU
Menurut Harris, investasi yang ditanamkan oleh pemerintah dimaksudkan sebagai percontohan agar masyarakat berpartisipasi memasang PLTS Atap. "Masyarakat akan memperoleh manfaat berupa penurunan tagihan listrik sekaligus berperan aktif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Sehingga, bisa mempercepat implementasi EBT secara nasional,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News