kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.600   -6,00   -0,04%
  • IDX 8.089   173,32   2,19%
  • KOMPAS100 1.119   28,59   2,62%
  • LQ45 796   23,97   3,10%
  • ISSI 285   3,86   1,37%
  • IDX30 415   14,34   3,58%
  • IDXHIDIV20 470   17,22   3,80%
  • IDX80 124   2,97   2,46%
  • IDXV30 133   4,48   3,48%
  • IDXQ30 131   4,31   3,39%

Setahun Prabowo-Gibran, Hilirisasi Minerba Masih Menghadapi Sejumlah Kendala


Senin, 20 Oktober 2025 / 20:08 WIB
Setahun Prabowo-Gibran, Hilirisasi Minerba Masih Menghadapi Sejumlah Kendala
ILUSTRASI. Aktivitas Terminal Batu bara, pelabuhan palaran, Samarinda, Kalimantan Timur. Kontan/Panji Indra. Sektor mineral dan batubara (minerba) menjadi penopang dari target hilirisasi dimasa kepemimpinan Prabowo-Gibran.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor mineral dan batubara (minerba) menjadi penopang dari target hilirisasi dimasa kepemimpinan Prabowo-Gibran.

Ini terlihat dari pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang menyebut bahwa 90% hilirisasi ada di sektor pertambangan atau minerba.

"Kita bicara hilirisasi. Ini 90 persennya dari sektor pertambangan. Mineral-batubara," ungkap Bahlil pada sambutannya dalam agenda Hipmi-Danantara Indonesia Bisnis Forum, di Jakarta, Senin (20/10/2025).

Dalam catatan ESDM, Bahlil juga menampilkan bahwa sektor mineral dan batu bara Indonesia memiliki potensi investasi hingga US$ 498,4 miliar atau setara dengan Rp 8.261,47 triliun.

Baca Juga: Banyak Peminat, Magang Hub Kemnaker Akan Dilanjut Tahun 2026

Potensi investasi ini berasal dari beberapa komoditas minerba andalan Indonesia seperti batubara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas-perak, aspal buton, mangan, kobalt, hingga Logam Tanah Jarang (LTJ).

Sayangnya, dari sisi pelaku usaha, hilirisasi minerba dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran masih menemui beberapa kendala.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia, secara umum kebijakan pemerintah sudah tepat. Namun perlu dipertimbangkan beberapa kebijakan yang lebih fleksibel.

"Sudah tepat, namun perlu dipertimbangkan kebijakan yang lebih fleksibel. Kebijakan ekspor konsentrat terbatas khususnya untuk mengakomodir perusahaan-perusahaan yang telah membangun fasilitas pengolahan-pemurnian dalam negeri yang sedang terkendala," ungkap Hendra saat dihubungi, Senin (20/10/2025).

Menurutnya, dari perspektif penambang, produsen mineral telah menaati aturan kewajiban peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian dalam negeri seperti yang diatur dalam UU Mineral dan Batubara.

"Untuk pengembangan industrialisasi yang berbasis mineral tentu menjadi Pekerjaan (PR) bersama agar industri dalam negeri bisa lebih berkembang dan menyerap produk mineral hasil pemurnian dalam negeri," tambahnya.

Khusus untuk batubara, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesi (APBI) Gita Mahyarani mengatakan pihaknya memahami bahwa hilirisasi batubara merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah.

Baca Juga: Indef Menilai Kebijakan Perdagangan Indonesia Adaptif tapi Belum Transformatif

Utamanya soal hilirisasi Dimetil Eter (DME) yang dihasilkan dari proses gasifikasi batubara, terutama batubara kalori rendah, yang ditarget dapat menjadi substitusi dari Liquefied Petroleum Gas (LPG).

"Namun dari sudut pandang pelaku usaha, proyek-proyek hilirisasi batubara seperti Dimetyl Eter (DME) masih menghadapi tantangan signifikan dari sisi keekonomian," kata dia. 

Menurutnya, biaya investasi dan operasional yang tinggi, kebutuhan infrastruktur besar, serta ketidakpastian harga jual produk membuat proyek-proyek tersebut sulit mencapai kelayakan komersial tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan konsisten.

"Dengan kondisi saat ini, hilirisasi batubara cenderung masih lebih feasible secara strategis ketimbang ekonomis," tambahnya.

Secara global, Gita mengakui bahwa teknologi hilirisasi batubara telah tersedia, tetapi penerapannya di Indonesia belum sepenuhnya teruji.

"Selain itu, sebagian besar teknologi tersebut masih bergantung pada lisensi luar negeri, yang berdampak pada tingginya biaya investasi dan risiko transfer teknologi," katanya.

Lain halnya dengan batubara, dua mineral penting yang banyak dihasilkan dari tanah Indonesia yaitu nikel dan bauksit menghadapi permasalahan berbeda.

Hilirisasi nikel meledak sejak pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel sudah berlaku sejak 1 Januari 2020. Sementara larangan ekspor bijih bauksit yang mulai berlaku sejak 10 Juni 2023, ternyata tidak mendorong perkembangan smelter bauksit secepat smelter nikel.

Nikel Indonesia, masih berjuang dengan kampanye negatif dirty nickel. Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey kampanye negatif dirty nickel  tersebut tidak adil.

Sebab, yang tengah melakukan hilirisasi bukan saja nikel tetapi juga industri manufaktur lain.

Baca Juga: Jeep Menambah Diler Baru dan Menggebar Dua Produk Baru

“Saya kira nikel ini terlalu over succes. Indonesia saat ini sudah 60% lebih ya memegang market share dunia untuk production dan kedua ada beberapa negara mungkin worry pada saat kita menguasai bahan baku untuk energi ke depan. Contohnya bahan baku baterai mobil listrik,” kata dia, dalam keterangannya ke media, Kamis (15/5).

Meidy berharap beberapa pihak jangan selalu menyorot hal negatif dari industri nikel, sebab ada juga manfaat dari keberadaan industri nikel di berbagai daerah, seperti di Sulawesi, Maluku Utara dan beberapa daerah penopang yang pendapatan daerahnya naik, selain itu juga penyerapan tenaga kerja meningkat.

"Kemudian untuk negara, PNBP dari nikel naik signifikan karena adanya penerimaan royalti," katanya.

Ia juga menegaskan, anggota APNI juga mendukung green industri. Salah satunya adalah melakukan transisi energi dengan menggunakan new technology EV seperti memakai truk EV dan alat berat EV. Pihaknya juga terus menjaga ekosistem lingkungan.

“Kami bicara dengan profesor air. Bagaimana mengekstrak pencemaran air, sehingga tidak terlalu berdampak kepada pemukiman, masyarakat, usaha masyarakat untuk pertanian, irigasi,” ujar dia.

Melansir data Kementerian ESDM akhir 2024 lalu, Indonesia memiliki sekitar 190 proyek smelter nikel secara keseluruhan, yang terdiri dari 54 yang sudah beroperasi, 120 sedang dalam tahap konstruksi, dan 16 dalam tahap perencanaan.

Berbeda dengan saudaranya, bauksit yang dihilirisasi menjadi alumunium di dalam negeri, masih kekurangan investor dalam pengembangan smelter bauksit. Baik smelter pemurnian bauksit menjadi alumina, maupun smelter alumina menjadi aluminium.

Hingga saat ini terdapat empat smelter bauksit yang telah beroperasi di Indonesia, mereka adalah: PT Indonesia Chemical Alumina (ICA), PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery, dan PT Bintan Alumina Indonesia (BAI).

Baca Juga: Evaluasi Setahun Prabowo-Gibran, Ini Catatan dan Harapan Pelaku Industri Manufaktur

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno sempat mengatakan terdapat tujuh smelter bauksit yang mandek dan tidak mengalami perkembangan yaitu: PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Laman Mining, PT Kalbar Bumi Perkasa, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Quality Sukses Sejahtera, PT Sumber Bumi Marau.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit (ABI) Ronald Sulistyanto mengatakan bahwa permasalah utama berada pada besarnya nilai investasi smelter.

"Untuk membuat smelter alumina saja, Ronald menghitung diperlukan dana sebesar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 15,86 triliun. Angka ini hampir 10 kali lipat lebih besar dari modal membuat smelter nikel," kata dia.

Modal yang besar inilah yang menjadi pertimbangan beberapa pengusaha, terutama untuk mengejar Break Even Point (BEP) atau titik impas dari smelter alumina yang akan dibuat.

Namun keduanya saat ini masih menghadapi permasalahan sama, yaitu harga jual kepada smelter yang berada di bawah Harga Patokan Mineral (HPM).

Dewan Pembina APNI, Djoko Widajatno menilai meski kadang menjual dengan harga di bawah yang ditetapkan pemerintah, penambang harus tetap membayar royalti yang mengacu pada HPM.

"Margin tertekan karena royalti dihitung dari HPM yang terdaftar, ini akan lebih tinggi, sementara realisasi harga jual bisa lebih rendah," kata dia.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh ABI, revisi aturan HPM dengan pencabutan Kepmen ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang HPM justru merugikan penambang karena tidak memberikan bargaining power yang cukup kepada smelter.

“Kalau HPM dihapus, penambang kehilangan perlindungan. Refinery bisa membeli bijih bauksit di bawah harga acuan. Akhirnya kontrak direvisi dan harga jatuh,” kata Ronald kepada Kontan.co.id, beberapa waktu lalu.

Ditambah dengan kapasitas refinery bauksit saat ini yang jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah penambang.

“Daripada tidak ada yang membeli, penambang akhirnya terpaksa menjual dengan harga rendah,” tutupnya.

Baca Juga: DPK Perbankan Melambat, Dana Nasabah Mulai Mengalir ke Emas dan Aset Digital

Selanjutnya: Banyak Peminat, Magang Hub Kemnaker Akan Dilanjut Tahun 2026

Menarik Dibaca: Simak Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Besok Selasa 21 Oktober 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×