kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.600   -6,00   -0,04%
  • IDX 8.089   173,32   2,19%
  • KOMPAS100 1.119   28,59   2,62%
  • LQ45 796   23,97   3,10%
  • ISSI 285   3,86   1,37%
  • IDX30 415   14,34   3,58%
  • IDXHIDIV20 470   17,22   3,80%
  • IDX80 124   2,97   2,46%
  • IDXV30 133   4,48   3,48%
  • IDXQ30 131   4,31   3,39%

Indef Menilai Kebijakan Perdagangan Indonesia Adaptif tapi Belum Transformatif


Senin, 20 Oktober 2025 / 20:00 WIB
Indef Menilai Kebijakan Perdagangan Indonesia Adaptif tapi Belum Transformatif
ILUSTRASI. Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (2/10/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym. Kebijakan perdagangan RI dinilai menunjukkan sikap adaptif terhadap fragmentasi global, namun belum sepenuhnya transformatif.


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman, menilai arah kebijakan perdagangan Indonesia selama setahun terakhir menunjukkan sikap adaptif terhadap fragmentasi global, namun belum sepenuhnya transformatif.

Menurutnya, pemerintah memang berupaya menahan tekanan dari perang dagang Amerika Serikat (AS)–Tiongkok melalui strategi diplomasi ekonomi dan diversifikasi mitra. Namun, secara struktural ekspor Indonesia masih terjebak pada komoditas primer yang rentan terhadap fluktuasi eksternal.

“Surplus perdagangan sebesar US$ 29,14 miliar hingga Agustus 2025 memang menunjukkan ketahanan, tetapi bila ditelusuri lebih dalam, kontribusi manufaktur berorientasi ekspor justru stagnan,” ujar Rizal kepada Kontan, Senin (20/10/2025)

Baca Juga: Produksi Sumur PPS-X19 dan Sumur PPS-12 Elnusa (ELSA) Tercatat Naik

Ia menjelaskan, daya tahan neraca dagang lebih bersumber dari penguatan harga komoditas sesaat, bukan dari pergeseran fundamental pada basis industri ekspor.

Karena itu, Rizal menilai strategi pemerintah sejauh ini baru bersifat reaktif, belum diiringi dengan industrial policy yang mampu memperkuat nilai tambah di dalam negeri.

Lebih lanjut, Rizal menyebutkan bahwa sejumlah perjanjian dagang (CEPA) yang ditandatangani sepanjang 2025 memang menandai fase baru diplomasi ekonomi Indonesia yang lebih proaktif. Namun, dampak konkret terhadap kinerja perdagangan tidak akan muncul dalam waktu dekat.

“Rata-rata kenaikan ekspor ke mitra CEPA baru hanya 3–5% per tahun, masih jauh dari target 10–12% yang dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi 6%,” ujarnya. 

Menurut dia, implementasi teknis seperti harmonisasi tarif, penyesuaian standar produk, dan kesiapan industri dalam memenuhi rules of origin menjadi faktor yang belum sepenuhnya siap.

Ia memperkirakan efek nyata CEPA baru akan terasa mulai 2026 ke atas, terutama jika sektor berorientasi teknologi dan manufaktur menengah seperti kimia, elektronik, dan otomotif mampu mengisi ruang yang dibuka oleh perjanjian tersebut.

Rizal menambahkan, fokus pemerintah untuk memperluas pasar ke Eropa, Kanada, dan Amerika Latin memang patut diapresiasi. Namun, efektivitasnya masih terbatas karena 41% ekspor nonmigas Indonesia tetap terserap di dua pasar utama: Tiongkok dan Amerika Serikat.

“Diversifikasi mitra tanpa diversifikasi produk hanya menghasilkan ilusi keseimbangan. Pasar baru tidak otomatis menyerap produk dengan struktur yang sama,” tegasnya.

Menurut Rizal, kunci keberhasilan strategi perdagangan terletak pada transformasi struktur industri nasional. Selama basis industri masih berorientasi komoditas dan belum bergerak menuju sektor bernilai tambah tinggi seperti teknologi hijau, biofarmaka, atau manufaktur presisi, diversifikasi pasar hanya akan menjadi langkah kosmetik.

Rizal menegaskan, CEPA hanyalah jembatan, bukan benteng. Dalam konteks perang dagang yang kian ideologis antara ekonomi terbuka dan proteksionisme strategis, posisi tawar Indonesia tetap bergantung pada kemampuan menegosiasikan nilai tambah domestik yang diakui mitra dagang.

“Kalau industri nasional belum mampu memenuhi standar keberlanjutan seperti carbon footprint atau deforestation-free supply chain, maka akses pasar tetap akan tertahan oleh regulasi non-tarif,” ujarnya.

Untuk memperkuat dampak ekonomi dari perjanjian perdagangan, Rizal mendorong pemerintah beralih dari paradigma “perjanjian sebagai pencapaian diplomatik” menuju paradigma “implementasi sebagai instrumen industrialisasi.”

Ia menyarankan tiga langkah strategis. Pertama adalah mempercepat reformasi fasilitasi perdagangan melalui digitalisasi bea cukai dan penyederhanaan sertifikasi ekspor agar pelaku industri menengah dapat memanfaatkan preferensi tarif.

Kedua, memperkuat ekosistem pembiayaan ekspor dan logistik guna menekan biaya pengiriman yang masih 23% lebih tinggi dari rata-rata ASEAN.

Terakhir, yang tak kalah penting adalah menjadikan CEPA sebagai instrumen integrasi kebijakan investasi, industri, dan pendidikan vokasi agar setiap perjanjian dagang berdampak pada peningkatan kapasitas produksi dan adopsi teknologi baru.

“Tanpa langkah-langkah tersebut, CEPA hanya akan berhenti sebagai dokumen politis, bukan sebagai mesin pendorong produktivitas nasional,” tutup Rizal.

Baca Juga: Jeep Menambah Diler Baru dan Menggebar Dua Produk Baru

Selanjutnya: Jeep Menambah Diler Baru dan Menggebar Dua Produk Baru

Menarik Dibaca: Simak Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Besok Selasa 21 Oktober 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×