Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Hilirisasi sektor pertambangan mineral semestinya mempertimbangkan pula keseriusan perusahaan yang akan membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter). Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Center for Indonesian Resources Strategic (CIRUS), Budi Santoso.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya memberikan relaksasi ekspor mineral mentah bagi perusahaan yang serius melakukan hilirisasi sesuai amanat Undang-Undang (UU) nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan BatuBara (Minerba).
"Lakukan pengawasan ketat, dari situ pemerintah bisa melihat keseriusan perusahaan yang bisa diberikan relaksasi. Perusahaan yang serius itu, estimasi sumber daya dan cadangan benar, visibilitas study benar, ada dana. Tapi, mereka kesulitan dana untuk membangun smelter, karena tidak bisa jual hasil tambangnya. Diberikan saja relaksasi," kata dia, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (6/8).
Pemerintah, lanjut Budi, harus memiliki parameter yang tepat dalam menerapkan relaksasi bagi perusahaan tambang mineral. Untuk hilirisasi seharusnya disesuaikan dengan kondisi kompleksitas dari industri pertambangan itu sendiri.
"Relaksasi step by step saja. Relaksasi sifatnya allowance supaya perusahaan bisa konstruksi membangun smelter. Dalam konteks memberi relaksasi harus punya parameter yang benar, libatkan konsultan," ujarnya.
Dia menjelaskan, dalam pelaksanaan hilirisasi pertambangan mineral pemerintah harus memperhatikan kemudahan perizinan dalam pembangunan smelter. Masalah lingkungan juga harus menjadi pertimbangan utama pemerintah.
"Beban fiskal, dalam kondisi sulit saat ini harusnya di review lagi. Pemerintah harus membentuk tim untuk monitor perusahaan yang sungguh-sungguh. Harus fasilitasi penambang yang sudah punya off taker," terangnya.
Saat ini juga menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menertibkan tambang liar, karena harga sedang turun. Tambang liar itu hanya bisa muncul ketika komoditi tambang harganya sedang bagus.
Berdasarkan hasil kajian Indonesian Resources Studies (IRESS) terhadap manfaat ekonomi kebijakan hilirisasi mineral serta dampak yang ditimbulkan dari kebijakan larangan ekspor bijih mineral, pemerintah Indonesia dalam rentang waktu 2017-2023 diproyeksikan mengalami peningkatan perolehan nilai tambah mineral dari kebijakan hilirisasi, berikut mata rantai kegiatannya sekitar US$ 268 miliar. Perkiraan ini di antaranya diperoleh dari nilai tambah tahunan komoditas bauksit sekitar US$ 18 miliar, tembaga sebesar US$ 13,2 miliar, dan nikel US$ 9 miliar.
Dilokasi yang sama, Kasubdit Pengawasan Pengoperasian Produksi dan Operasi Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Syamsu Dalient mengatakan hingga saat ini belum ada data yang akurat tentang cadangan mineral dalam negeri. Padahal, menurut dia, data cadangan merupakan poin penting dalam pelaksanaan hilirisasi.
"Sebenarnya berapa smelter yang harus dibangun? Nah, ini harus disesuaikan dengan cadangan. Seharusnya ini seimbang, ada balance," jelasnya.
Menurut dia, pelaksanaan hilirisasi dengan membangun smelter juga harus didukung dengan infrastruktur memadai. Selain itu, kata dia, ketersediaan energi juga menjadi pertimbangan pemerintah.
"Return of investment pendirian smelter itu kecil. Kalau dia sendiri yang membangun, itu tidak menarik. Tapi, kalau terintegrasi dengan tambang baru, itu menarik," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News