Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Selama kurun waktu 2006-2016 itu, nilai ekspor batubara Indonesia tercatat sebesar US$ 184,853 miliar, sementara berdasarkan negara pembeli, total nilai impor batubara asal Indonesia sebesar US$ 226,525 miliar atau selisih US$ 41,671 miliar.
Berkaca dari ketidak sinkronan data dari kajian yang dirilis ICW pada 20 November 2017 itu, selama periode 2006-2016, diindikasikan nilai transaksi ekspor batubara yang kurang dilaporkan atau dilaporkan secara tidak wajar mencapai sebesar US$ 27,062 miliar.
Adapun, data-data tersebut merupakan hasil perbandingan dengan negara-negara tujuan ekspor batubara Indonesia, terutama yang terbesar seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan.
“Kita juga sudah riset (produk minerba lainnya) seperti timah dan nikel, sama saja ada perbedaan data. Jadi melihat potret besarnya, tidak hanya batubara, tapi dalam pengawsan ekspor produk mentah maupun olahan dari pertambangan Indonesia itu bermasalah,” jelas Firdaus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (4/11).
Verifikasi dan Sinkronisasi Data Minerba
Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar berujar, kehadiran aplikasi MOMS ini juga bertujuan untuk menutup celah kecurangan data ekspor tersebut. Arcandra mengklaim, melalui MOMS, pihaknya bisa mengetahui kemana perusahaan melakukan ekspor, dijual ke negara mana, kepada siapa, berapa volumenya, kapan waktu penjualannya, hingga menggunakan kapal apa. “Benar (memperbaiki data ekspor) itu yang ingin kita lihat” kata Arcandra.
Ia pun menyebut, untuk memastikan kebenaran data yang disampaikan perusahaan, Kementerian ESDM tetap akan melakukan pengecekan ulang. “Namun tetap kita lakukan pengawasan apakah input itu benar atau tidak, akan kita crosscheck,” imbuhnya.
Kendati demikian, Firdaus menilai, celah potensi kerugian negara akibat ketidak sesuaian data di sektor minerba masih terbuka jika saja tidak ada sinkronisasi antar kementerian atau lembaga terkait, serta perbandingan data dengan negara penerima.