kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.909   21,00   0,13%
  • IDX 7.211   70,15   0,98%
  • KOMPAS100 1.108   13,11   1,20%
  • LQ45 880   13,40   1,55%
  • ISSI 221   1,38   0,63%
  • IDX30 450   7,23   1,63%
  • IDXHIDIV20 541   6,43   1,20%
  • IDX80 127   1,62   1,29%
  • IDXV30 135   0,66   0,50%
  • IDXQ30 149   1,87   1,27%

Target Tidak Tercapai, Seberapa Layak Kebijakan Harga Gas Murah Dilanjutkan?


Rabu, 21 Februari 2024 / 20:41 WIB
Target Tidak Tercapai, Seberapa Layak Kebijakan Harga Gas Murah Dilanjutkan?
ILUSTRASI. Penampungan gas. ANTARA FOTO/Indrayadi TH/hp.


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan harga gas murah yang dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) perlu segera dievaluasi.

Sebab kebijakan yang sudah dijalankan sejak pandemi Covid-19 ini dinilai membebani keuangan negara dan berpotensi menurunkan minat investasi di hulu migas.

Apalagi sektor industri tertentu penerima manfaat harga gas subsidi ini juga gagal meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian.

Baca Juga: Rencana Perluasan Sektor Industri Penerima Manfaat Harga Gas Perlu Dievaluasi

”HGBT sifatnya kebijakan yang protektif atau defensif pada masa pendemi untuk mengamankan 7 industri yang dirasa memerlukannya. Harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut,” ungkap Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin dalam keterangannya, Rabu (21/2).

Sebanyak 7 sektor penikmat HGBT saat ini terdiri atas sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Seluruhnya mendapatkan pasokan gas di bawah harga pasar yakni US$6 per MMBTU.

Eddy menjelaskan bahwa diperlukan riset untuk mengetahui dampak kebijakan HGBT tersebut. Hal ini penting untuk menjadi landasan apakah program tersebut diteruskan atau layak dihentikan.

Baca Juga: Industri Minta Kebijakan Harga Gas Khusus Dilanjutkan

“Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi berbagai faktor lain,” imbuhnya.

Lembaga Kajian Energy Reforminer Institute memperkirakan, negara telah kehilangan penerimaan PNBP dari gas hingga sekitar Rp 30 triliun akibat subsidi harga gas sejak tahun 2020 ini.

Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sampai tahun 2022 pelaksanaan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar US$6 per MMBTU berdampak pada kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,39 triliun.

Baca Juga: Kementerian ESDM Beberkan Tantangan Perluasan Harga Gas Khusus Industri

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, kehilangan penerimaan negara terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi.

Itu akibat penyesuaian harga gas bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah terhadap kontraktor.

“Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen atau 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau 12,93 triliun tahun 2022,” kata Tutuka tahun lalu.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×