Reporter: Herlina KD |
JAKARTA. Fluktuasi harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) ke depan tidak akan banyak mempengaruhi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, Selasa (21/9).
Menurutnya, meski harga CPO naik tapi di dalam negeri sudah tidak ada lagi faktor pendorong permintaan alias push demand. "Musim Lebaran sudah selesai, sehingga tidak ada lagi faktor yang bisa mendongkrak permintaan minyak goreng," jelasnya.
Sahat menambahkan, meski akhir tahun nanti masih akan ada perayaan Natal dan Tahun Baru, hal ini tidak banyak mendongkrak permintaan minyak goreng. Ia menggambarkan, saat Lebaran permintaan minyak goreng akan meningkat sekitar 10% "Tapi kalau natal dan tahun baru peningkatan permintaan hanya sekitar 1% - 2% saja," ungkapnya.
Selain tidak adanya pendorong permintaan, Sahat mengatakan penguatan nilai tukar rupiah juga menjadi alasan lain penghambat kenaikan harga minyak goreng. "Di dalam negeri rupiah menguat, sehingga kalaupun harga CPO naik, dengan penguatan nilai tukar maka harganya tidak akan melonjak terlalu tajam," kata Sahat.
Sahat memperkirakan harga minyak goreng masih akan stabil sampai akhir tahun. "Kalaupun terjadi fluktuasi itu merupakan aksi dari para spekulan yang memainkan harga di pasar," jelasnya.
Di pasar global, harga CPO anjlok ke level yang paling jeblok dalam tiga minggu belakangan setelah investor memetik untung atas harga CPO yang terus reli ke level yang paling tinggi dalam lebih dari sebulan ini.
Kontrak CPO untuk pengiriman Desember anjlok 1,3% menjadi 2.674 ringgit per metrik ton atau US$ 863 per metrik ton pada hari Selasa (21/9) kemarin. Kontrak ditutup di level 2.708 ringgit per metrik ton kemarin.
"Ada resistensi dari pembeli setelah reli kemarin," kata Arhnue Tan, Analis ECM Libra Capital Sdn. di Kuala Kumpur, seperti dikutip dari Bloomberg.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News