Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kopi diketahui menjadi salah satu komoditi prioritas dalam pengembangan Koperasi dan UMKM karena melibatkan banyak pelaku usaha mikro.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2018, 96,6% lahan kopi di Indonesia dikuasai oleh perkebunan rakyat yaitu petani mikro dan kecil, 2,02% perkebunan swasta dan 1,86% oleh perkebunan besar milik negara.
Sedangkan petani kopi di Indonesia mencapai 1,3 juta orang yang menempati urutan nomor 3 di dunia setelah Ethiopia dan Uganda.
Melihat hal tersebut, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki mengatakan, kini para petani kopi sangat terdampak akibat pandemi Covid-19. Hal itu karena meskipun produksi kopi tinggi, namun terdapat kendala akibat daya serap yang menurun.
Baca Juga: Kemenkop UKM dorong UKM manfaatkan peluang ekspor ke pasar Eropa
"Ini dilatarbelakangi pemahaman bahwa banyak komoditi pangan yang tidak terserap, daya beli turun dan ekspor turun. Kami lihat salah satunya kopi, padahal produksinya sedang baik. Namun karena menghadapi pandemi, penyerapan terganggu," tutur dalam siaran pers yang diterima Kontan.co.id pada Rabu (23/9).
Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) disebutnya mendorong para petani memperkuat kelembagaan dengan membentuk koperasi.
Hal tersebut, kata Teten, menjadi salah satu solusi agar permasalahan para petani kopi yang terjadi saat ini dapat diatasi, di antaranya kesulitan dalam menjual produk kopi, hingga faktor pembiayaan.
"Saya mendorong agar di setiap daerah petaninya tergabung dalam koperasi. Saya ditugaskan Bapak Presiden untuk memperkuat koperasi pangan dan produksi, terutama di sektor pertanian, perikanan dan perkebunan. Kopi adalah salah satu keunggulan domestik, kita perkuat kelembagaannya," ujar Teten.
Adapun dijelaskannya, koperasi dengan perkuatan LPDB-KUMKM, akan menjadi off taker produk pertanian, sehingga akan terdapat perlindungan dari sisi pasar, karena produk akan dibeli oleh koperasi.
"Yang terjadi sekarang adalah petani kesulitan untuk menjual produknya. Kami rancang kelembagaan, sehingga penjualan produk ini dapat diintegrasikan dengan koperasi, agar petani tidak lagi mengalami kesulitan penjualan," ungkapnya.
Pihaknya juga akan terus berkomunikasi dengan Kementerian Pertanian dalam penyediaan bibit unggul serta penyuluhan, demi kesejahteraan petani. Sehingga melalui langkah tersebut akan meningkatkan perbaikan kesejahteraan petani.
Baca Juga: Konsolidasi data UMKM ditargetkan tahun depan, ini tantangan yang dihadapi
Sementara itu, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menegaskan, ada tiga produk unggulan Lampung, yaitu lada, kopi, dan kakao. Menurutnya, Produksi Kopi Lampung tahun 2019 sebesar 110.264 ton, dengan luas lahan 156.821 hektare.
Lampung disebut Arinal merupakan penghasil Kopi terbesar ke- 2 di Indonesia. Produksi Kopi Lampung, Tahun 2019 sebesar 110.291 ton dan 99,97% produksi Kopi tersebut adalah jenis Kopi Robusta.
Pihaknya akan mendorong agar para petani kopi menggunakan lahan pertanian, karena saat ini petani kopi sebagian besar berasal dari hutan.
Arinal optimistis dengan hilirisasi sektor pertanian ke lahan rakyat, maka ditargetkan produksi menjadi 4 ton per hektare dari 0,7 ton per hektare saat ini.
"Sebaran kopi Lampung sebagian besar terdapat di hutan. Sehingga belum sepenuhnya tersentuh teknologi," kata Arinal.
Adapun, Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah, menjelaskan, produksi kopi Arabica Gayo di Aceh merupakan terbesar di Asia Tenggara, yang telah diekspor ke 26 negara di dunia, dalam volume hingga 9.095 juta kilogram.
Baca Juga: Sinergi Kementerian Koperasi UKM dan BKPM kembangkan UMKM dan koperasi
"Kopi Arabica Gayo, yang berkualitas sangat baik dan bersertifikat, merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Puncak masa panen adalah akhir September 2020, yang dapat menghasilkan hingga 70 persen produksi. Aceh mengekspor 9.095 juta kilogram Kopi Gayo ke 26 negara," ujarnya.
Namun menurutnya, akibat pandemi Covid-19, ekspor kopi dan rempah-rempah mengalami penurunan signifikan. Dampak Covid-19 yang melanda dunia, disebutnya tak terkecuali berimbas juga ke industri kopi.
Hal tersebut menjadi perhatian Pemda Aceh, karena kopi dan rempah sangat sedikit terserap pasar, sisanya menumpuk di gudang.
Pihaknya berharap pemerintah dapat melakukan intervensi agar biaya ekspor menjadi lebih terjangkau, juga menyediakan gudang dan membuka peluang pasar baru bagi para petani kopi di wilayahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News