Reporter: Febrina Ratna Iskana, Pratama Guitarra, Revita Rita Rani | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Duh, lagi-lagi aturan menteri memicu kisruh. Itulah yang terjadi pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 37/2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi, Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi.
Aturan yang keluar 13 Oktober 2015 itu diprotes oleh asosiasi perusahaan gas bumi. Bahkan mereka akan menggugat (judicial review) aturan ini ke Mahkamah Agung.
"Aturan ini bertolak belakang dengan peraturan lama. Apalagi, tidak ada pemberitahuan apapun soal status peraturan lama, apakah sudah dibatalkan atau bagaimana. Jadi membingungkan maunya pemerintah itu apa," tandas Eddy Asmanto Sekretaris Jenderal Indonesia Natural Gas Trader Associaton kepada KONTAN, Minggu (8/11).
Permen 37/2015 memuat beberapa poin penting. Antara lain menegaskan bahwa perdagangan gas bumi diprioritaskan untuk BUMN, BUMD, serta konsumen atau disebut dengan end user. Kedua, pemerintah akan mengontrol harga jual beli gas dengan mempertimbangkan daya beli konsumen, baik industri maupun rumah tangga.
Ketua Asosiasi Perusahaan Compressed Natural Gas Indonesia (APCNGI) Robby Sukardi menambahkan, Permen ESDM itu tidak secara jelas menyebutkan peranan badan usaha swasta yang bergerak di sisi hilir. Utamanya mereka yang berkeinginan atau telah berinvestasi sektor hilir. Sebab aturan ini hanya membolehkan BUMN, BUMD, dan end user membeli gas dari kontraktor migas.
Nah, jika swasta tidak diperkenankan, artinya pemerintah menutup investasi di infrastruktur pendistribusian gas. Entah distribusi melalui pipa atau maupun infrastruktur gas CNG.
Robby sebenarnya setuju keinginan pemerintah agar end user bisa mendapat harga gas lebih murah dan efisien. Tapi, tanpa melibatkan swasta justru memicu monopoli BUMN maupun BUMD. "Jadi harganya tinggi," katanya.
Agar bisa menemui kejelasan perihal aturan ini, Eddy bilang, pihaknya berupaya melakukan dialog dengan Menteri ESDM Sudirman Said untuk memperjelas maksud isi aturan ini. Namun, jika akhirnya dialog itu gagal, trader gas swasta akan memilih jalur hukum yakni melakukan judicial review atas aturan baru ini. "Kami sudah berinvestasi cukup besar. Market share bagi swasta untuk jual dan beli gas sepanjang tahun 2014 yang lalu saja mencapai 23%," kata Eddy.
Keberatan pengusaha trader gas ini mendapat dukungan dari Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas). Andy Noorsaman Someng Kepala BPH Migas kepada KONTAN, Senin (9/11) menyatakan, sebenarnya BPH Migas sudah menyampaikan pandangannya kepada Menteri ESDM Sudirman Said terhadap aturan baru ini dalam rapat Minggu (8/11).
BPH Migas menilai, aturan itu niatnya memang baik, agar tidak ada lagi tata niaga gas yang bertingkat dan menyebabkan inefisiensi. "Tapi kok malah menghapus tata niaga artinya akan ada 20-an trader gas yang akan tutup usahanya. Ini tidak sesuai dengan UU Migas," kata Andy.
Karena itu Andy meminta, Permen ini ditarik kembali dan direvisi. Dia menilai bagian hukum Ditjen migas tidak teliti dan lalai atau tidak mengerti kegiatan usaha gas bumi melalui pipa.
Sementara Pengamat Migas Fahmi Radhi menuding selama banyak trader gas tidak punya infrastruktur. "Trader gas yang tidak punya pipa hanya makelar yang membuat harga mahal," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News