Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) berhasil mengantongi pertumbuhan laba bersih sepanjang tahun 2022. Namun, kinerja keuangan anak usaha Pertamina ini masih perlu disoroti mengingat liabilitas perseroan juga mengalami lonjakan.
Berdasarkan laporan keuangan 2022, PGEO tercatat membukukan laba bersih sebesar US$ 127,3 juta, tumbuh 49,7% dari pencapaian 2021 senilai US$ 85 juta.
Capaian tersebut sejalan dengan peningkatan pendapatan operasional sebesar 4,67% secara year on year (yoy) menjadi US$ 386,06 juta dan penurunan beban usaha sebesar 5% menjaid US$ 173,2 juta.
Total liabilitas PGEO naik dari US$ 1,16 miliar pada akhir 2021 menjadi US$ 1,21 miliar pada akhir 2022. Liabilitas jangka pendek tercatat meningkat jadi US$ 857,78 juta dari sebelumnya US$ 199,86 juta. Sementara liabilitas jangka panjang turun ke US$ 361,81 juta dari sebelumnya US$ 968,56 juta.
Peningkatan liabilitas ini berpotensi menghambat rencana ekspansi perusahaan ke depan. Sementara baru-baru ini, Direktur Keuangan Pertamina Geothermal Energy Nelwin Aldriansyah menyatakan, pihaknya menganggarkan capex US$ 250 juta tahun ini, naik dari US$ 60 juta pada tahun 2022.
“Penggunaan belanja modal pada 2023, di antaranya untuk pemeliharaan dan operasi wilayah kerja (WK) panas bumi yang sudah yang ada, pembangunan pembangkit listrik tambahan 55MW di WK Lumut Balai, dan pembangunan infrastruktur pendukung tambahan,” kata Nelwin.
Per Desember 2022, liabilitas jangka pendek didominasi dengan utang bank yang mencapai US$ 600 juta. Adapun utang jangka pendek yang akan jatuh tempo dalam setahun ke depan mencapai US$ 15,5 juta.
Analis Panin Sekuritas, Andhika Audrey mengatakan utang bank jangka pendek ini membebani rencana ekspansi PGEO. Menurutnya, perubahan utang jangka panjang PGEO menjadi jangka pendek berpotensi menggerus kantong perseroan.
Padahal, PGO sebelumnya menjanjikan dana hasil penawaran umum perdana saham (initial public offering/IPO) sebesar Rp9,05 triliun akan digunakan untuk ekspansi wilayah kerja panas bumi (WKP) dan membayar utang. Komposisinya 85% untuk ekspansi WKP dan sisanya untuk bayar utang.
“Namun, berhubung adanya utang jangka pendek yang jatuh tempo, peluang ekspansi untuk pembangunan kapasitas terpasang 600 Megawatt ini berpotensi tertunda,” kata Andhika dalam risetnya dikutip Minggu (2/4).
Utang bank jangka pendek tersebut terdiri atas pinjaman dari Bank Mandiri sebesar US$ 105 juta, MUFG Bank Ltd US$ 105 juta, Bank UOB Indonesia US$ 105 juta, Bank HSBC US$ 82,5 juta, ANZ Banking Group Limited Singapore Branch US$ 75 juta, BTPN US$ 52,5 juta, SMBC US$52,5 juta dan HSBC US$ 22,5 juta.
Andhika mengatakan utang jatuh tempo itu bakal menjadi faktor penunda pembangunan kapasitas terpasang sendiri perseroan menjadi 1.200 MW.
Dia bilang, bisnis panas bumi juga merupakan bisnis padat modal dan dengan jangka waktu yang relatif tidak sebentar. “Win rate atau rasio kesuksesan dari pengeboran untuk mendapatkan panas bumi ini masih 50:50.” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News