kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.896.000   -13.000   -0,68%
  • USD/IDR 16.195   57,00   0,35%
  • IDX 7.898   -32,88   -0,41%
  • KOMPAS100 1.110   -7,94   -0,71%
  • LQ45 821   -5,85   -0,71%
  • ISSI 266   -0,63   -0,24%
  • IDX30 424   -3,04   -0,71%
  • IDXHIDIV20 487   -3,38   -0,69%
  • IDX80 123   -1,10   -0,89%
  • IDXV30 126   -1,56   -1,22%
  • IDXQ30 137   -1,32   -0,96%

Mal Ramai Transaksi Sepi, Fenomena Rojali–Rohana Mencuat Lagi


Minggu, 17 Agustus 2025 / 16:25 WIB
Mal Ramai Transaksi Sepi, Fenomena Rojali–Rohana Mencuat Lagi
ILUSTRASI. Pengunjung memadati area Livin' Alun Alun Nusantara, saat waktu berbuka puasa di Lippo Mall Nusantara, Semanggi, Jakarta (22/3/2025). Area food court di lantai LG Lippo Mall Nusantara (eLeMeN) ini menjadi destinasi warga Jakarta untuk berbuka puasa dan sebagai venue untuk bersilaturahmi dalam tradisi Hari Raya Idul Fitri. Alun Alun Nusantara menghadirkan lebih dari 200 jenis makanan, jajanan, dan minuman kuliner cita rasa Nusantara. (KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fenomena “Rojali” atau rombongan jarang beli dan “Rohana” atau rombongan hanya nanya kembali mencuat. 

Tren ini muncul seiring meningkatnya kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan, namun tidak diikuti dengan lonjakan transaksi belanja yang signifikan.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menegaskan, fenomena tersebut sejatinya bukan hal baru dalam dunia ritel modern.

“Rojali dan Rohana itu sudah ada sejak lama di pusat perbelanjaan, bukan tiba-tiba muncul sekarang. Hal ini terjadi karena fungsi mal tidak lagi sekadar tempat belanja, tapi juga sudah menjadi pusat koneksi sosial,” ujar Alphonzus saat ditemui di Jakarta, Rabu (6/8/2025).

Menurutnya, pergeseran fungsi mal membuat intensitas Rojali–Rohana bisa naik turun. Faktor daya beli kelas menengah bawah tetap berpengaruh, namun bagi kelas menengah atas, kondisi makroekonomi dan faktor global lebih dominan.

Meski demikian, Alphonzus optimistis bisnis pusat belanja di Indonesia masih prospektif. Ia menilai pembangunan 13 mal baru di Jabodetabek tetap wajar di tengah tren konsumsi yang melambat.

Baca Juga: Ritel Hadapi ‘Rojali’ dan ‘Rohana’, APPBI Punya Strategi Dongkrak Transaksi

“Rasio luasan pusat perbelanjaan dibanding jumlah populasi di Indonesia masih sangat rendah. Kalau dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, atau Thailand, kita bisa sampai 10 kali lipat lebih kecil,” jelasnya.

Ia menambahkan, tren penjualan ritel di Indonesia juga bersifat musiman, dengan puncak pada periode Ramadan dan Lebaran. Karena itu, penurunan transaksi di luar musim puncak masih tergolong wajar.

Untuk menjaga daya tarik pengunjung, pusat belanja terus bertransformasi menjadi social connection hub. Salah satunya dengan meningkatkan porsi penyewa makanan dan minuman (food and beverage/F&B).

“Kalau dulu komposisi F&B hanya 10–20%, sekarang sudah naik menjadi 30–40%,” kata Alphonzus. 

Meski begitu, ia menekankan pentingnya keseimbangan agar mal tidak berubah menjadi sekadar deretan restoran.

APPBI sendiri tidak menghitung secara khusus dampak Rojali–Rohana terhadap penurunan transaksi. Alphonzus menegaskan, fenomena tersebut akan selalu ada karena mal kini telah berubah fungsi.

Baca Juga: Fenomena Rojali dan Rohana Marak, Benarkah Ini Sinyal Kemiskinan semakin Meningkat?

“Baik di kelas menengah bawah maupun menengah atas, Rojali dan Rohana tetap ada. Tinggal intensitasnya saja yang berbeda mengikuti situasi ekonomi,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, menilai perilaku konsumen yang sekadar melihat-lihat sering dipicu oleh perbandingan harga dengan platform daring.

"Orang jalan-jalan, lihat harga, lalu merasa lebih murah di online. Itu hal yang tidak bisa kita kendalikan,” katanya.

Pandangan serupa disampaikan Menteri Perdagangan Budi Santoso. Ia menyebut, maraknya fenomena Rojali–Rohana merupakan bagian dari transformasi pola belanja masyarakat, dari toko fisik ke platform online.

“Sekarang ini antara offline dan online sedang dalam masa transisi. Sebagian besar konsumen sudah mulai belanja ke online,” ujarnya.

Menurutnya, perubahan perilaku ini memang menekan penjualan di toko fisik, namun sekaligus membuka peluang bagi pelaku usaha untuk mengembangkan model hybrid omnichannel.

Baca Juga: Indonesia Shopping Festival 2025 Bakal Digelar, Wamendag Yakin Tekan Rojali & Rohana

“Fenomena hanya lihat-lihat atau Rojali itu wajar. Konsumen punya hak untuk membandingkan dan memilih, apakah mau belanja langsung di toko atau melalui platform digital,” jelasnya.

Budi juga menyinggung peran live shopping yang kini marak digunakan di marketplace. Menurutnya, pendekatan visual dan interaktif itu menjadi solusi untuk mengurangi keraguan konsumen terhadap produk.

“Kalau hanya lihat gambar, kadang kurang yakin. Tapi dengan live shopping, konsumen bisa lebih percaya dan akhirnya mau beli,” tambahnya.

Ia menilai, situasi ini mirip dengan masa awal kehadiran ritel modern yang sempat meminggirkan toko kelontong. Namun lewat pola kemitraan dan pelatihan, toko kelontong mampu bertahan. Hal serupa dinilai bisa diterapkan di era digital saat ini.

“E-commerce tidak hanya menjual, tapi juga mengajarkan cara mengemas produk dengan baik, membuat promo menarik, dan mengelola strategi penjualan. Ini harus dilakukan bersama agar kita tidak tertinggal dari negara lain,” katanya.

Budi menegaskan, pemerintah berkomitmen mendorong UMKM masuk ke ekosistem digital, terutama yang berada di desa-desa. Ia menilai produk lokal memiliki potensi besar untuk bersaing, baik di pasar domestik maupun ekspor.

Baca Juga: Mendag: Hybrid Omnichannel Jadi Solusi Hadapi Fenomena Rojali

Selanjutnya: Gelar Consumer Expo 2025, BRI Hadirkan Suku Bunga KPR Ringan Mulai 2,40%

Menarik Dibaca: Cara Buka Blokir Facebook dengan Bantuan Pusat Dukungan,Cepat & Mudah Dilakukan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
Mengelola Tim Penjualan Multigenerasi (Boomers to Gen Z) Procurement Strategies for Competitive Advantage (PSCA)

[X]
×