kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Yuk, intip strategi Polette mendongkrak penjualan


Selasa, 15 November 2016 / 22:18 WIB
Yuk, intip strategi Polette mendongkrak penjualan


Reporter: Marantina | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Dulu, kacamata memang identik dengan gangguan penglihatan atau cacat mata. Namun sekarang tidak lagi. Kacamata sudah jadi bagian dari fashion.

Indah (28), misalnya. Karyawan di salah satu BUMN ini bilang, koleksi kacamata lebih dari 10 buah. Beberapa memang untuk memenuhi kebutuhan mata Indah yang minus. Namun, beberapa ia pakai khusus untuk melengkapi penampilan.

Tak heran, bisnis kacamata dianggap menggiurkan. Beragam merek baru bermunculan. Bahkan setahun ini, ada beberapa merek kacamata luar negeri yang melebarkan sayap di Indonesia. Salah satunya, Polette, merek asal Prancis. 

Awal 2015, Polette membuka showroom di Bandung, Jawa Barat, dengan nilai investasi sekitar Rp 100 juta. Namun demikian, Polette menjual produknya secara daring. 

Dus, meski ada showroom, pembeli tetap harus memesan produk Polette secara online. Dengan sistem ini, Polette memangkas jalur panjang dari pabrik hingga penjual. Sebab, biasanya, sebelum sampai ke gerai, kacamata dijual secara grosir, lalu diimpor ke negara tujuan, baru masuk ke gerai-gerai. 

Rantai penjualan ini membuat harga kacamata lebih tinggi ketika sampai di tangan pembeli. “Polette hadir sebagai satu-satunya perantara di antara pembeli dengan produsen,” ujar Nicholas Paris, General Manager Polette. 

Sebelum Polette masuk ke Indonesia, Nicholas membuat riset kecil-kecilan. Hasilnya, kebanyakan orang Indonesia hanya punya dua pilihan ketika mau membeli kacamata. 

Pertama, datang ke toko optik yang menjual kacamata dengan merek mahal. Kedua, membeli di toko kacamata tanpa merek yang berharga murah.

Polette masuk mengisi kekosongan pasar kacamata bermerek dengan harga lebih terjangkau. Ini bisa dilakukan karena Polette menjual secara daring merek kacamata yang didesain dan diproduksi sendiri. Membidik kelas menengah ke atas, Polette membanderol produk mulai dari Rp 299.000 per item.

Desain khas Eropa jadi salah satu keunggulan Polette. Adapun, pembuatan produknya dilakukan di Shanghai, Tiongkok, sehingga biaya produksi bisa lebih rendah. Produk pun hanya dibuat sesuai pesanan. 

Lantaran dibuat sesuai dengan pesanan, Polette tak perlu membuat stok yang banyak, sehingga produksi lebih efisien. Konsekuensinya, untuk sampai di tangan pembeli, Polette memakan waktu sembilan hari sampai 12 hari.

Penjualan kacamata secara online memang tergolong baru di Indonesia. Karena itu, salah satu tantangan bagi Polette ialah mengedukasi pasar. Polette menjamin produk bisa dikembalikan atau ditukar bila tidak sesuai dengan kebutuhan pembeli. “Ini sebagai salah satu layanan kami,” kata Nicholas.

Pada situsnya, Polette memberi berbagai penjelasan, antara lain tentang jenis lensa dan cara mengukur kacamata yang sesuai dengan jarak antara kedua mata. Konsumen bisa memilih dari sekitar 1.500 model bingkai kacamata di situs Polette. Di situs ini, calon pembeli juga bisa mencoba produk secara virtual. 

Caranya, pilih kacamata yang disukai, lalu cocokkan dengan wajah dengan cara mengunggah foto atau via webcam.

Dua bulan balik modal

Strategi penjualan daring terbukti jitu bagi Polette. Selama satu tahun lebih hadir di Indonesia, Nicholas mengklaim, rata-rata pertumbuhan penjualan Polette mencapai 20% per bulan. 

Mayoritas produk atau sekitar 70% kacamata Polette dikirim untuk pembeli yang berdomisili di Jawa. Namun, ada juga pembeli dari Kalimantan, Sulawesi, bahkan Papua.

Dengan penjualan yang tumbuh pesat, Nicholas mengaku, modal yang dikeluarkan untuk membangun showroom di Bandung sudah kembali. 

Pria asal Prancis ini berujar, Polette bisa berkembang sejauh ini lantaran pemasaran dari mulut ke mulut. Banyak pembeli yang merekomendasikan produk Polette secara cuma-cuma.

Menurut Nicholas, masyarakat Indonesia sudah cukup akrab dengan toko daring. Karena itu, ia optimistis, Polette bisa berkembang di Indonesia. 

Untuk mendekatkan diri dengan konsumen, Polette saban bulan membuka gerai yang bersifat sementara di pusat perbelanjaan di Jakarta yang tengah menggelar program bazaar. 

Tak cuma itu, Polette akan menambah tiga showroom, tahun depan. Targetnya, dalam dua tahun, Polette bisa mengantongi omzet US$ 1 juta.

Meski yakin bisa mencuil pasar kacamata Indonesia, menurut konsultan dan pengamat pemasaran Daniel Saputra, Polette punya tantangan besar ke depan terkait tujuan masyarakat kelas menengah membeli kacamata. 

Pertama, untuk kesehatan, pertimbangan utama biasanya kualitas produk. Kedua, untuk gaya atau melengkapi penampilan, pertimbangan desain dan warna biasanya lebih dominan. 

Jadi, baik untuk kesehatan maupun gaya, merek tidak jadi pertimbangan utama. Daniel menilai, sulit bagi produsen kacamata untuk eksis di dua kategori sekaligus. “Kita harus lihat dalam tiga tahun, akan sulit bersaing dengan konsep yang ada sekarang,” ujarnya.

Dus, Polette harus memilih fokusnya, mau menjual kacamata untuk kesehatan atau penampilan. Untuk kesehatan, saran dia, bekerjasama dengan dokter mata agar tingkat kepercayaan konsumen meningkat. Sementara untuk kacamata penampilan, bisa menggunakan selebriti atau endorser.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×