Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak dari hilirisasi nikel nampaknya belum sepenuhnya dapat dinikmati di dalam negeri. Hal ini terlihat dari banyaknya smelter nikel atau tempat pemurnian dan peleburan bijih nikel di Indonesia yang mayoritas masih dikuasai oleh perusahaan asing.
Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), dari total 49 smelter nikel Rotary Klin-Electric Furnace (RKEF) dan 6 smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang saat ini telah beroperasi di Indonesia, hampir 100% adalah milik asing atau berasal dari Penanaman Modal Asing (PMA).
"Smelter semuanya asing, kecuali Antam. Hampir 100% mayoritas masih asing. Bahkan Vale saja asing," ungkap Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey saat ditemui Kontan di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (22/01).
Menurut Meidy, salah satu alasan menjamurnya smelter-smelter asing di Indonesia adalah karena pemerintah Indonesia memberikan banyak insentif bagi PMA tanpa memberikan beban lanjutan jika smelter-smelter ini sudah melakukan proses pemurnian.
Baca Juga: Rencana Kenaikan Royalti Nikel hingga 15% Picu Kekhawatiran Pengusaha Tambang
"Mereka mendapatkan fasilitas begitu banyak, tax holiday, tax amnesty, kebanyakan segala bentuk subsidi atau insentif," tambah Meidy.
Meidy menambahkan hingga saat ini belum ada pajak yang terhadap produk turunan nikel yang telah dimurnikan oleh smelter-smelter asing tersebut. Ini membuat produk turunan nikel Indonesia yang diekspor harganya menjadi sangat murah.
"Kemarin kami undang dari Rusia, mereka menyampaikan bahwa perbedaan (harga) stainless steel Indonesia dengan Eropa adalah 60% lebih murah Indonesia. Kenapa? Karena terlalu banyak insentif atau subsidi," kata dia.
"Kenapa tidak ditetapkan bea keluar? Walaupun mungkin cuma 1% atau 2%, biar kita dapat data (penyerapan produk turunan nikel) Itu yang paling penting," tambahnya.
Asal tahu saja, hingga kini rencana dikenakan bea keluar sebesar 2% dari nilai ekspor kepada produk turunan nikel seperti feronikel (FeNi) dan nickel pig iron (NPI) sudah direncanakan oleh pemerintahan Presiden Jokowi sejak tahun 2023.
Namun penetapan bea keluar ini belum juga terlaksana hingga tahun ini.
Berdasarkan data APNI, smelter nikel baik yang menggunakan teknologi RKEF dan HPAL akan kembali bertambah. Tahun ini jumlahnya menjadi total 95 smelter.
Banyaknya smelter kata Meidy juga tidak serta merta dapat menyerap bijih nikel yang ditambang para penambang nikel.
Smelter saat ini kata dia juga kerap mempertimbangkan kadar nikel dan persentase silika-magnesium yang terkandung di dalamnya.
"Kadang menjual kadar 1,8% meskipun tinggi tidak diterima. Kenapa? karena unsur silika-magnesiumnya, rasionya itu banyak yang nggak compatible. Jadi nggak semua tambang nikel itu bisa 'dimakan' oleh smelter yang ada sekarang," jelasnya.
Senada, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan pemerintah Indonesia mestinya segera mengambil langkah tegas dengan menetapkan bea keluar dari produk turunan nikel yang sudah dimurnikan di dalam negeri.
"Pemerintah harus melakukan interverensi, produk turunan dari smelter itu dibolehkan untuk mengekspor misalnya turunan pertama dan kedua. Jadi bukan insentif pajak yang dikasih tetapi dikenakan pajak yang tinggi kalau dia mau ekspor," ungkap Fahmy.
Ia menambahkan, tujuan hiliriasi nikel yang digembar-gemborkan pemerintah harusnya sejalan dengan penerimaan nilai tambah ke dalam negeri hingga terbentuknya ekosistem industri.
Baca Juga: Batal Pemangkasan Produksi, Industri Nikel Hadapi Oversupplay dan Penurunan Harga
Lebih lanjut, Fahmy juga menyoroti mengenai teknologi smelter asing khususnya milik China yang dibawa ke Indonesia. Menurut dia, teknologi smelter yang digunakan China sangat rendah keamanannya.
"Teknologi yang dibawa oleh China untuk smelternya sangat buruk, ini bisa kita lihat karena sering terbakar. Belum lagi mereka bawa tenaga kerja dari China, itu yang menyebabkan nilai tambahnya jauh lebih besar yang dinikmati mereka," kata dia.
Adapun terkait banyaknya insiden kebakaran smelter, Fahmy bilang seharusnya ini bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk melakukan moratorium smelter atau bahkan penutupan smelter yang tidak memenuhi aturan keselamatan.
"Bahwa sekarang menurut saya yang bisa dilakukan adalah moratorium smelter. Jangan dibuka lagi smelter yang baru gitu ya, apalagi kalau kualitas atau teknologi yang digunakan seperti China yang jelek sering terbakar," katanya.
Melansir dari data Policy Paper yang dirilis oleh Centre of Law and Economic Studies (Celios), sejak melakukan hilirisasi nikel dan membuka akses PMA menanamkan modal smelter di dalam negeri sudah ada beberapa insiden kebakaran smelter yang berulang, terhitung sejak tahun 2018.
Berikut adalah beberapa PMA pemilik smelter nikel yang pernah mengalami ledakan di Indonesia:
1. PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali - tahun insiden: 2018, 2019,2020, 2021, 2022.
2. PT Weda Bay Industrial Park (IWIP) - tahun insiden: 2021 dan 2022.
3. PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), Konawe, Sulawesi Tenggara - tahun kejadian 2015,2018, 2019, 2020, 2021 dan 2022.
4. PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), Morowali utara, Sulawesi Tengah - tahun insiden: 2020, 2022 dan 2023.
5. PT Obsidian Stainless Steel, Konawe, Sulawesi Tenggara - tahun insiden: 2020, 2021, dan 2022.
6. PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, Bantaeng, Sulawesi Selatan - tahun insiden: 2020, 2021 dan 2022.
7. PT Wanxiang Nickel Indonesia, Bantaeng, Sulawesi Selatan - tahun insiden: 2022.
8. PT Huadi Wuzhou Nickel Industry, Bantaeng, Sulawesi Selatan - tahun insiden: 2022.
9. PT Sulawesi Mining Investment, Morowali, Sulawesi Tengah - tahun insiden: 2017 dan 2018.
10. PT Indonesia Tshingshan Stainless Steel, Morowali Utara, Sulawesi Tengah - tahun insiden: 2020 dan 2023.
Selanjutnya: Harga Emas Mencapai Puncak 3 Bulan, Jumat (24/1), Karena Pernyataan Suku Bunga Trump
Menarik Dibaca: Rilis Priming Water, Studio Tropik Kembangkan Bisnis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News