Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
“Jadi kalau terjadi deindustrialisasi ya Bu Sri Mulyani harus tanggung jawab, karena Bu Sri telah gagal menangani permasalahan di Bea Cukai , dan korbannya adalah industri. Itu 26.000 kontainer yang tertahan saya yakin 85% barang importir pedagang relasinya oknum Bea Cukai, hanya 15% yang benar-benar untuk kepentingan industri manufaktur,” kata Redma.
Redma juga menekankan dalam skala lebih luas masyarakat umum terutama para pekerja akan terimbas relaksasi impor yang diinisiasi Kemendag dan Kemenkeu.
“Ya sudah, pemerintah tidak usah berharap investasi dari tekstil, dan jangan harap lagi kita akan menyerap karyawan yang kemarin dirumahkan. Tinggal kita lihat akan banyak lagi karyawan yang di PHK, biar Bu Sri Mulyani yang akan bertanggung jawab mencarikan mereka pekerjaan,” tutup Redma.
Direktur Eksekutif Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) atau Asosiasi Industri Baja Indonesia Widodo Setiadharmaji senada dengan Redma yang mengatakan bahwa selama ini kebutuhan impor anggota asosiasinya minim kendala dalam mengimpor bahan baku maupun barang penolong.
“Impor dalam bentuk bahan baku sebagai material utama proses produksi secara umum tidak mengalami kendala cukup berarti sehingga kegiatan produksi dapat berjalan dengan baik. Kebijakan pemerintah dalam pengendalian impor sangat diperlukan dalam menghadapi kondisi baja global yang mengalami kelebihan kapasitas, proteksionisme dan praktik perdagangan tidak adil,” terang Widodo.
Widodo menjelaskan selama ini pengaturan impor memberikan dampak positif bagi sektor industri baja yang tumbuh baik. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS pada Kuartal 1 2024, ekspor produk baja meningkat pesat hingga 38,3% yaitu dari 3,81 juta ton di kuartal I 2023, menjadi menjadi 5,27 juta ton di kuartal I 2024.
Sementara dari sisi impor turun 10,2% dari 3,91 juta ton di kuartal I 2023, menjadi menjadi 3,51 juta ton di kuartal I 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News