kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45917,01   -18,50   -1.98%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bagini kata Menko Luhut soal hilirisasi batubara menjadi DME dan metanol


Senin, 14 September 2020 / 17:21 WIB
Bagini kata Menko Luhut soal hilirisasi batubara menjadi DME dan metanol
ILUSTRASI. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Panjaitan


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memaparkan potensi peningkatan nilai tambah atau hilirisasi batubara di Indonesia. Luhut menyoroti dua jenis hilirisasi dalam bentuk gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) dan menjadi Metanol.

Dia mengatakan, hilirisasi batubara merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan nilai tambah, dibandingkan dengan terus-terusan menjual barang mentah. Dengan hilirisasi, cadangan batubara Indonesia bisa dimanfaatkan lebih optimal. Mengingat penggunaan batubara di dalam negeri masih lebih rendah ketimbang batubara yang diekspor.

Sebagai gambaran, pada tahun lalu penggunaan batubara domestik masih sebesar 138 juta ton, sedangkan yang diekspor mencapai 375 juta ton, dengan nilai ekspor sekitar US$ 19 miliar.

"Penjualan batubara sebagian besar diekspor, kita perlu maintenance batubara ini. Karena cadangan tidak banyak, jadi perlu melihat itu," kata dia saat memberikan paparan dalam rangkaian acara 30 tahun Perhapi, Senin (14/9).

Baca Juga: Bakal diwajibkan pemerintah, begini persiapan hilirisasi batubara Adaro Energy (ADRO)

Luhut memaparkan, produk turunan bisa memberikan nilai tambah hingga 2-3 kali lipat. Pengolahan batubara menjadi metanol (coal to methanol), misalnya, bisa memberikan peningkatan nilai ekspor hingga 2,4 kali. Sementara peningkatan nilai untuk batubara menjadi DME sebanyak 1,85 kali.

Apalagi, hilirisasi batubara menjadi DME dan Methanol bisa menjadi produk substitusi yang dibutuhkan Indonesia. Seperti DME untuk substitusi LPG yang sebagiannya masih diimpor, serta metanol yang bisa dijadikan campuran biodiesel (FAME).

Kendati begitu, hilirisasi batubara ini bukan tanpa catatan. Menurut Luhut, sejumlah hal yang masih perlu diperhatikan ialah terkait harga serta tingkat investasi dan pengembalian modalnya alias internal rate of return (IRR).

"Nanti di sini masalah itu, mengenai harga dan juga investasi dan IRR-nya DME dan metanol," sambung Luhut. 

Dia mengklaim, proyek coal to methanol relatif tidak memiliki persoalan yang signifikan. Alasannya, skema yang digunakan untuk proyek tersebut bersifat business to business (B to B) dan tidak memerlukan subsidi dari pemerintah.

Lain hal nya dengan proyek coal to DME yang masih membutuhkan kajian lebih mendalam karena berpotensi memerlukan subsidi yang lebih besar dibandingkan LPG pada harga saat ini. Dengan kajian lebih lanjut, imbuh Luhut, manfaat ekonomis diharapkan tidak hanya berupa substitusi impor namun juga pada perbaikan manajemen subsidi energi.

Baca Juga: Begini plus dan minus kewajiban hilirisasi batubara menurut IMEF

"Kalau metanol saya tidak melihat ada masalah, tapi mungkin DME ada sedikit masalah karena menyangkut harga. Tapi itu bisa diomongin lah," sebut Luhut.

Namun dia menegaskan bahwa hilirisasi batubara menjadi DME mesti diimplementasikan. Hal itu penting untuk mengurangi impor LPG sehingga bisa memperbaiki current account deficit (CAD). Pasalnya, impor LPG mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, dan menjadi 5,7 juta ton pada tahun 2019 lalu.

"Jadi DME sebagai substitusi LPG, mengurangi impor. Angkanya sangat besar, jumlahnya, nilainya. Itu perlu kita hati-hati jangan sampai CAD juga kena," imbuhnya.

Adapun, proyek gasifikasi batubara menjadi DME akan dilakukan oleh konsorsium PTBA. Nilai investasi untuk proyek yang berlokasi di Sumatra Selatan itu paling tidak mencapai US$ 2,4 miliar dengan produksi mencapai 1,4 juta ton DME per tahun. 

Baca Juga: Begini tanggapan APBI terkait kewajiban perusahaan tingkatkan nilai tambah batubara

Dalam paparan Luhut, disebutkan bahwa pemerintah menyiapkan insentif berupa royalti batubara input sebesar 0%, tax holiday 20 tahun, pembebasan pajak impor saat konstruksi dan sedang mengkaji permintaan tambahan untuk subsidi.

Sedangkan untuk batubara menjadi metanol akan dikerjakan oleh Grup Bakrie di Kalimantan Timur. Proyek dengan investasi sekitar US$ 1,8 miliar itu akan memproduksi 1,8 juta ton metanol per tahun. Pemerintah menyiapkan insentif berupa royalti batubara input sebesar 0%, tak holiday 20 tahun, dan pembebasan pajak impor saat konstruksi.

Selanjutnya: Klaim akan jalankan hilirisasi batubara, Arutmin Indonesia: Kami harap ada insentif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×