kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.940.000   8.000   0,41%
  • USD/IDR 16.400   -33,00   -0,20%
  • IDX 7.936   30,42   0,38%
  • KOMPAS100 1.106   -3,16   -0,28%
  • LQ45 813   -4,14   -0,51%
  • ISSI 266   0,45   0,17%
  • IDX30 421   -2,53   -0,60%
  • IDXHIDIV20 488   -3,70   -0,75%
  • IDX80 123   -0,68   -0,55%
  • IDXV30 131   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 136   -1,35   -0,98%

Beban Ganda Industri Komponen Otomotif: Penjualan Mobil Merosot, Impor EV Melonjak


Rabu, 27 Agustus 2025 / 19:50 WIB
Beban Ganda Industri Komponen Otomotif: Penjualan Mobil Merosot, Impor EV Melonjak
ILUSTRASI. Ilustrasi penawaran mobil listrik baru ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025, ICE BSD, Tangerang (30/7/2025).


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beban ganda sedang menimpa industri komponen otomotif nasional. Lonjakan impor mobil listrik berbasis baterai alias Battery Electric Vehicle (BEV) secara utuh memperkeruh kondisi industri komponen otomotif yang sudah tertekan oleh tren penurunan penjualan kendaraan.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menyoroti kebijakan impor BEV dalam bentuk utuh atau completely built up (CBU).

Dengan kompetisi harga yang semakin murah, BEV impor bersaing ketat dengan mobil yang diproduksi di dalam negeri.

Padahal, mobil buatan industri lokal, terutama mobil konvensional memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang sangat tinggi. Bahkan sudah bisa mencapai TKDN 80%-90%, sehingga menggerakkan industri manufaktur nasional, termasuk industri komponen.

Baca Juga: Toyota Indonesia Ukir Sejarah, Ekspor Mobil CBU Segera Sentuh 3 Juta Unit

"(Penjualan mobil) yang TKDN tinggi tertekan, makin turun. Sementara muncul yang TKDN sangat rendah, volumenya meningkat. Ini akan mengganggu keseimbangan industri di dalam negeri," ungkap Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri mengenai Polemik Insentif BEV Impor, Senin (25/8).

Pelaku industri mengkhawatirkan kondisi ini akan mengganggu supply - demand produk komponen otomotif nasional. Di sisi yang lain, tidak semua pabrikan komponen  memiliki kemampuan untuk beralih atau melakukan diversifikasi ke produk yang dibutuhkan dalam mobil BEV.

"Mengenai disrupsi terhadap industri komponen, nggak gampang untuk switching, karena berbagai faktor kondisi dan ini adalah teknologi baru. Kemudian ada persaingan, termasuk persaingan harga yang cukup berat," imbuh Kukuh.

Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Rachmad Basuki mengamini tekanan yang sedang menimpa industri komponen otomotif. Rachmad mengatakan, industri komponen lebih banyak memasok ke pabrikan mobil. 

Baca Juga: BAIC Indonesia Resmikan Dealer ke-13 di Kelapa Gading, Perkuat Layanan Purna Jual

Dus, industri komponen tertekan oleh tren penjualan mobil yang merosot sejak tahun 2023, ditambah dengan impor BEV dan truk yang belakangan ini semakin marak.

"Secara aktual double impact, sehingga supply komponen berkurang banyak," ungkap Rachmad saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (27/8/2025).

Dengan memperhitungkan tren penurunan penjualan mobil sejak tahun 2023, Rachmad menggambarkan bahwa jika diakumulasi, pasokan industri komponen ke pabrik mobil sudah menyusut sekitar 38%.

Sebagian pelaku industri masih tertopang oleh penjualan ke pasar ekspor yang masih relatif stabil.

Namun, perusahaan komponen yang ekspor mayoritas merupakan perusahaan patungan (joint venture) dengan korporasi global. Sedangkan untuk perusahaan lokal atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), kondisi ini sangat menyulitkan.

Baca Juga: Siapkan Motor Listrik Khusus Perempuan, Polytron Jadwalkan Rilis 22 Agustus 2025

Rachmad mencatat, sejak tahun 2023 setidaknya sudah ada dua anggota GIAMM yang menutup operasinya. Bahkan belakangan ini di sejumlah perusahaan terjadi pengurangan karyawan dengan porsi yang bervasiasi, antara 3% - 23%. 

"Bahkan ada supplier dump truk terjadi pengurangan karyawan sampai 50%. Itu gambaran betapa beratnya industri komponen. Mudah-mudahan industri komponen di Indonesia tetap bisa survive," kata Rachmad.

Menurut Rachmad, pada dasarnya industri komponen Indonesia sangat siap dan mampu untuk melakukan transisi memproduksi komponen mobil berbasis listrik.

Hanya saja, transisi industri komponen akan sangat tergantung pada strategi masing-masing pabrikan mobil.

"Pada dasarnya sangat siap, jika ada ordernya asalkan sesuai dengan kaidah di bisnis otomotif, yaitu QCDSM: Quality, Cost, Delivery, Service & Management," tegas Rachmad.

Rachmad mencontohkan transisi dalam mobil jenis Hybrid Electric Vehicle (HEV), karena rata-rata HEV diproduksi di dalam negeri. Secara umum, HEV dan BEV memiliki kesamaan komponen, yakni baterai, Power Control Unit (PCU) dan motor listrik. Perbedaan signifikan hanya pada besaran kapasitasnya.

Baca Juga: Potensi Besar, Tapi Industri Otomotif RI Terjebak Stagnasi Penjualan

"Sekarang yang sudah mulai di lokalisasi yaitu baterai, bertahap ke PCU dan motor listriknya. Bahkan beberapa perusahaan juga mempersiapkan charging stationnya," imbuh Rachmad.

Catatan Rachmad, pemerintah mesti memperhatikan dampak dari impor BEV dalam bentuk utuh terhadap industri lokal, termasuk komponen otomotif. Sebab, industri komponen akan bergerak sesuai dengan pemenuhan TKDN dari para pabrikan otomotif.

Rachmad mengungkapkan, rata-rata mobil konvensional atau Internal Combustion Engine (ICE) sudah memnuhi TKDN di atas 60%. Rachmad pun meminta agar pemerintah bisa memenuhi komitmen sesuai regulasi, yakni produksi BEV di dalam negeri mulai tahun 2026.

"Mestinya pemerintah harus komitmen sesuai dengan aturan yang ada mengenai insentif dan start produksi, karena dari peraturan pemerintah mengenai BEV, dampaknya ke industri komponen sangat terasa," tandas Rachmad.

Sekadar mengingatkan, impor BEV dalam bentuk utuh merupakan insentif yang diberikan oleh pemerintah kepada pabrikan yang memiliki komitmen investasi di Indonesia. Insentif itu merujuk pada Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023, juncto Nomor 1 Tahun 2024.

Baca Juga: Perdana Hadir di GIIAS 2025, Geely Berhasil Raih 866 SPK

Melalui beleid tersebut, sejak Februari 2024 sejumlah merek BEV menerima insentif bea masuk dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). Namun, ada persyaratan bank garansi pada setiap impor CBU. Selain itu, ada komitmen investasi untuk memproduksi di dalam negeri dengan rasio 1:1.

Artinya, setiap satu unit BEV yang diimpor, pabrikan tersebut mesti memproduksi satu unit di dalam negeri dengan tipe dan jenis yang sama. Batas waktu importasi atau berakhirnya program insentif impor ini akan berlangsung pada 31 Desember 2025.

Kemudian, pada 1 Januari 2026 - 31 Desember 2027 para pabrikan penerima insentif impor mesti melunasi komitmen produksi 1:1 sesuai dengan roadmap Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Besaran TKDN ditargetkan naik bertahap dari 40% pada 2026 menjadi 60% pada 2027, lalu meningkat ke level 80% pada 2030.

Baca Juga: Tanpa Subsidi, Penjualan Motor Listrik Diproyeksi Hanya Tembus 8.000 unit Tahun Ini

Kukuh meminta agar pemerintah bisa konsisten dengan memenuhi regulasi dan komitmen tersebut.

"Jadi ada kepastian hukum, jangan tarik-ulur. (Apabila insentif impor diperpanjang) yang terganggu adalah pelaku industri yang sudah investasi di sini. Tentunya ini juga menyangkut kredibilitas (Indonesia di mata investor)," tandas Kukuh. 

Selanjutnya: Gadai ValueMax Sebut Bunga Gadai Tak Langsung Mengikuti Penurunan Bunga BI

Menarik Dibaca: Film Legenda Kelam Malin Kundang Rilis Teaser Poster dan Teaser Trailer

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Powered Scenario Analysis AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004

[X]
×