Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) memperkirakan biaya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mencapai US$ 4,6 miliar hingga tahun 2030 dan US$ 27,5 miliar hingga tahun 2050.
Dengan rincian, sekitar dua pertiga atau US$ 18,3 miliar berasal dari PLTU milik swasta, dan sepertiga atau US$ 9,2 miliar berasal dari PLTU milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero.
Meski biaya awal pensiun PLTU tergolong besar, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan bahwa terdapat manfaat jangka panjang dari penurunan biaya kesehatan, dan subsidi PLTU mencapai US$ 96 miliar pada 2050.
Baca Juga: Peta Jalan Pengakhiran PLTU Dibentuk, IESR: Hanya 2 Jenis Pembangkit yang Dibangun
“Dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU yang tidak efisien, mahal dan menyebabkan polusi udara akut milik PLN bisa berasal dari APBN. Namun dananya yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus dipakai untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik,” jelas Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan, Rabu (23/04).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah menerbitkan Permen ESDM No. 10/2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan pada Selasa (15/4).
Peraturan ini merupakan amanat dari Peraturan Presiden No. 112/2022 pasal 3. Permen ESDM ini mengatur peta jalan pengakhiran operasi PLTU untuk mencapai target net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Salah satu strateginya adalah percepatan pensiun PLTU batubara berdasarkan sejumlah kriteria, serta pelarangan pembangunan PLTU baru kecuali yang memenuhi ketentuan dalam Perpres No. 112/2022.
Tidak lama setelah penerbitan Permen ESDM No. 10/2025, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia juga menandatangani keputusan pensiun dini untuk PLTU Cirebon I berkapasitas 650 MW.
“Keputusan Menteri ESDM menyetujui rencana pensiun dini PLTU Cirebon I dengan fasilitas Energy Transition Mechanism (ETM) juga menjadi bukti bahwa pengakhiran operasi PLTU lebih awal dari masa kontraknya layak secara teknis, ekonomis dan legal," tambahnya.
Baca Juga: PLTU Dilarang Beroperasi Lebih dari 2050, PLN akan Kebut Dua Jenis Pembangkit EBT Ini
Menurutnya, proses menuju keputusan ini sebenarnya telah ditempuh sejak 2021 tetapi belum sepenuhnya mencapai akhir. Dalam sepuluh tahun mendatang, PLN dan PT Cirebon Electric Power (CEP), di bawah supervisi pemerintah, masih harus merencanakan pembangunan pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti kapasitas PLTU yang akan dihentikan.
Selain itu, diperlukan penguatan jaringan listrik untuk mengintegrasikan masuknya pembangkit energi terbarukan, terutama yang bersifat variabel (variable renewable energy, VRE).
"Tanpa langkah-langkah ini, rencana pensiun dini PLTU berisiko batal karena potensi kekurangan pasokan listrik pada 2035,” kata Fabby.
Fabby berharap pengalaman selama tiga tahun mempersiapkan pensiun dini PLTU Cirebon I dapat menjadi bahan pelajaran berharga dan meningkatkan keyakinan PLN, pemerintah dan listrik swasta untuk mengkaji kemungkinan pengakhiran operasi PLTU lainnya di masa mendatang.
Berdasarkan kajian IESR, untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sebanyak 72 PLTU batu bara dengan total kapasitas 43,4 GW perlu dipensiunkan pada periode 2022–2045.
Pada periode 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional terhadap 18 PLTU berkapasitas total 9,2 GW, terdiri dari 8 PLTU milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU milik pembangkit swasta (4,2 GW).
Selanjutnya: BBRI, BMRI, BBCA Top Leaders Saat IHSG Melesat Kembali ke 6.600
Menarik Dibaca: iPhone 17 Pro Max Muncul di Internet,Ini Dia Spesifikasi yang Bikin Penasaran
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News