Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi Amerika Serikat (AS) Chris Wright mengungkapkan keinginannya untuk menghentikan program penutupan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
Langkah ini menandai perubahan signifikan dari kebijakan energi sebelumnya di era pemerintahan Presiden Joe Biden, yang menargetkan penghentian pembangkit energi fosil demi transisi ke energi bersih.
Pernyataan Wright ini sejalan dengan keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik negaranya dari komitmen Perjanjian Iklim Paris pada 20 Januari 2025.
Dengan kebijakan baru ini, AS berencana memaksimalkan pemanfaatan sumber energi fosil domestik untuk memastikan pasokan listrik yang stabil.
Dikutip Bloomberg pada Rabu (13/2), Wright menegaskan batubara tetap menjadi sumber energi yang penting bagi sistem kelistrikan AS dalam beberapa dekade ke depan.
Baca Juga: Bahlil Tegaskan Indonesia Tak Keluar Paris Agreement, Ini Rencana Pensiun Dini PLTU
“Kami sedang dalam jalur untuk terus mengurangi listrik yang kami hasilkan dari batubara. Tapi itu membuat listrik menjadi lebih mahal dan jaringan listrik kami menjadi kurang stabil,” ujar Wright.
Lonjakan permintaan listrik di AS, terutama untuk pusat data kecerdasan buatan (AI), pabrik-pabrik baru, dan elektrifikasi ekonomi, menjadi salah satu alasan utama di balik kebijakan ini. Trump sendiri menekankan bahwa energi terbarukan seperti angin dan matahari tidak cukup andal untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Meski begitu, Wright mengakui bahwa pembangkit listrik berbahan bakar gas alam juga akan memainkan peran besar dalam jangka pendek, karena biaya yang lebih rendah dan emisi yang lebih rendah dibanding batubara.
Data dari Badan Informasi Energi AS mencatat batubara saat ini menyumbang sekitar 15% dari pembangkitan listrik di AS, turun drastis dari lebih dari 50% pada tahun 2000. Sementara itu, AS masih memiliki cadangan batubara terbesar di dunia, mencapai 218 miliar metrik ton pada 2022.
Menurut data Statista, per September 2024, AS memiliki total 204 PLTU yang masih beroperasi, menjadikannya negara dengan PLTU terbanyak ketiga di dunia setelah China dan India.
“Yang terbaik yang dapat kita harapkan dalam jangka pendek adalah menghentikan penutupan PLTU batubara,” kata Wright. “Tidak ada yang menang dengan tindakan (penutupan) itu,” tambahnya.
Baca Juga: AS Keluar dari Perjanjian Paris, Pertamina Kebut Cari Sumber Migas Baru
Menanggapi kebijakan ini, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai keputusan AS tidak akan berdampak signifikan terhadap pasar batubara global, karena ekspor batubara AS relatif kecil. Namun, hal ini tetap bisa menjadi sentimen positif bagi industri batubara.
“Secara market sepertinya tidak berpengaruh karena AS ekspornya relatif kecil. Namun informasi tersebut bisa membawa sentimen positif yang bisa juga berdampak terhadap harga, tapi tidak signifikan dan efeknya tidak panjang,” kata Hendra kepada Kontan, Kamis (13/2).
Senada, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Gita Mahyarani menyebut kebijakan ini tidak akan berdampak langsung terhadap Indonesia.
“Tidak ada pengaruh khususnya ke Indonesia. Hal tersebut merupakan kebijakan dalam negeri AS. Kita sendiri tidak ada ekspor ke Amerika (terakhir tahun 2023 berdasarkan data BPS hanya 3,11 juta ton). Amerika sendiri juga memiliki batubara (mereka adalah produsen),” kata Gita kepada Kontan, Kamis (13/2).
Baca Juga: Amerika Serikat Alihkan Ekspor Batubara ke India Usai Perang Tarif
Selanjutnya: Dukung Gerakan Cerdas Keuangan, BRI Insurance Beri Literasi Keuangan Bagi UMKM
Menarik Dibaca: K Fitness Targetkan 10 Cabang Baru di Luar Jakarta pada Tahun Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News