Sumber: Kompas.com | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Presiden Direktur PT Newmont Nusa Tenggara Martiono Hadianto mengatakan, pemerintah terlalu mudah memberikan izin usaha pertambangan, namun lupa menjalankan kewajibannya, yaitu mengawasi.
Saat ini, ada sekitar 10.680 izin usaha pertambangan yang dikeluarkan. Setahun belakangan rupanya pemerintah mencoba menertibkan dengan istilah Clean and Clear (CnC).
"Karena ternyata izin yang diberikan itu banyak yang tumpang tindih, perusahaan enggak jelas. Akhirnya dari 10.680 izin, yang sudah dapat CnC ternyata baru 4.000an," kata dia dalam peluncuran buku Nasionalisme Migas, Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Martiono mempertanyakan kewajiban pemerintah soal monitoring dan pengawasan. Pasalnya, konsekuensi dari menerbitkan izin usaha tersebut, harusnya pemerintah tidak lepas kewajiban monitoring.
"Pertanyaan besarnya adalah bagaimana pemerintah memonitor persyaratan yang ditetapkan itu dilaksanakan tidak?" sebut dia.
Menurut dia, dengan 10.680 izin usaha pertambangan yang dikeluarkan, setidaknya dibutuhkan 2.000 pengawas tambang. "Pemerintah punya enggak segitu banyak pengawas tambang? Saya pikir saat ini belum punya," lanjut Martiono.
Tidak adanya pengawasan di sektor pertambangan ini, praktis menyebabkan dampak negatif. Seperti, tidak sinkronnya antara data ekspor Indonesia dengan data impor China dan India, misalnya untuk komoditas nikel, batubara, dan bauksit.
"Terus terang saya enggak punya data tapi suaranya (beritanya) kenceng sekali," lanjut dia.
Hal tersebut disebabkan karena pemerintah lupa mengawasi izin-izin usaha tambang yang dikeluarkan. Padahal, kata dia, tidak semua penerima izin tersebut adalah pelaku pertambangan, dan banyak diantaranya hanya trader.
"Setiap memberikan izin, pemerintah itu punya kewajiban memonitor dan mengawasi. Kalau tidak bisa dilakukan, timbul kesempatan yang tidak terkendali," tukas dia.(Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News