Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kebijakan larangan ekspor bauksit membawa efek bagi perusahaan tambang. Pada 20 Desember 2023 lalu, PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA) melakukan efisiensi penjualan aset tetap kepada pihak afiliasi perusahaan.
Aset tetap yang dijual meliputi alat berat, kendaraan, mesin dan peralatan serta barang persediaan berupa sparepart milik perusahaan yang terletak di daerah site perusahaan di Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Nilai transaksinya Rp 13.125.131.000.
Pembelinya terdiri atas PT Marina Bara Lestari, PT Lima Srikandi Jaya, dan PT Mitra Kemakmuran Line. CITA, MBL, LSJ dan MKL merupakan perusahaan dengan pihak pengendali yang sama.
Direktur CITA, Yusak Lumba Pardede, mengatakan bahwa transaksi afiliasi dilakukan dengan tujuan efisiensi dan optimalisasi kinerja.
Baca Juga: Iklim Investasi Smelter Berpotensi Mengalami Penurunan, Ini Penyebabnya
“Efisiensi dan optimalisasi kinerja sehubungan dengan adanya pelarangan ekspor bauksit yang mulai diberlakukan sejak Juni 2023 yang lalu sehingga Perseroan berharap bahwa transaksi ini dapat memberikan nilai tambah di masa mendatang kepada Perseroan,” tulis Yusak dalam lembaran keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) (22/12).
Aksi korporasi CITA belakangan ini boleh jadi menjadi semacam sinyal adanya persoalan di sektor bauksit. Rupanya, upaya efisiensi rupanya tidak dilakukan oleh CITA semata.
PLH ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistyanto, mengklaim bahwa kebijakan larangan ekspor bauksit telah berbuntut pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan tambang bauksit di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Riau sejak awal tahun 2023.
Hal itu dilakukan seturut produksi yang menyusut menjelang implementasi larangan kebijakan ekspor bauksit pada Juni 2023.
“Mereka tentu menghentikan produksinya, karena tidak ada hubs lagi untuk kegiatan-kegiatan di luar supply bahan baku untuk smelter dalam negeri,” kata Ronald saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (28/12).
Berdasarkan catatan APB3I, produksi tahunan bauksit Indonesia bisa mencapai hingga 30 juta ton per tahun. Hanya saja, kapasitas input di dalam negeri untuk mengolah/memurnikan bauksit masih terbatas.
Untuk smelter jenis Smelter Grade Alumina (SGA), total kapasitas input secara nasional hanya mencapai 12 juta ton per tahun, sementara smelter Chemical Grade Alumina (CGA) dengan total kapasitas input 1-2 juta ton per tahun.
Baca Juga: Kementerian ESDM Buka-bukaan Tambang Bawah Tanah Bakal Jadi Tren pada Masa Depan
Ronald berujar, aksi PHK di sektor bauksit masih berpotensi terus terjadi bila tidak ditindaklanjuti. Sementara itu, fenomena ini, menurut Ronald, bisa membawa dampak ikutan alias multiplier effect. Sebab, sebagian pelaku ekonomi lokal di sekitar tambang, seperti misalnya juga turut menggantungkan penghidupannya pada keberlanjutan aktivitas pertambangan.
Itulah sebabnya, ia meminta pemerintah agar mengambil langkah untuk menindaklanjuti situasi ini.
“Lokal itu bisa hidup karena dia bisa jual ayam, dia jual telur, dia jual daging, jual ikan, jual apa, dia bisa. Dia akan berhenti,” tutur Ronald.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, mengatakan bahwa persoalan PHK di sektor bauksit perlu mendapat perhatian dan menjadi bahan evaluasi pemerintah.
“Saya kira ini perlu mendapat perhatian juga untuk dievaluasi, apakah proses ini bisa dilakukan sejalan dan apa yang perlu dilakukan pemerintah ketika perusahan-perusahaan itu belum mencapai program hilirisasinya sesuai dengan target yang dicanangkan,” kata Eddy saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (28/12).
Senada, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, menilai bahwa pemerintah perlu duduk bersama pelaku usaha untuk membahas persoalan PHK yang melanda sektor bauksit.
Kendati demikian, ia juga berpandangan bahwa pemerintah tetap harus tegas menjalankan undang-undang (UU) perihal kewajiban hilirisasi. Itulah sebabnya, ia menilai Pemerintah juga perlu mendorong percepatan pembangunan smelter bauksit dengan memberikan kemudahan dan insentif yang menarik bagi investor.
“Tetap harus tegas untuk konsisten menjalankan UU, relaksasi dan pengunduran kewajiban pengolahan dan pemurnian sudah kerap terjadi dan justru semakin membuat smelter enggak jadi-jadi,” kata Bisman saat dihubungi Kontan.co.id (28/12).
Baca Juga: Pemerintah Tegaskan Komitmen Dorong Hilirisasi
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Agus Cahyono Adi, mengatakan bahwa saat ini sudah 4 smelter yang beroperasi dengan kapasitas input/pemurnian 13,8 juta ton.
Untuk menambah kapasitas input, Pemerintah melalui Direktorat Minerba Kementerian ESDM tengah berusaha mendorong percepatan penyelesaian 8 smelter alumina yang sedang dalam proses penyelesaian.
Ketika sudah beroperasi nanti, kedelapan smelter ini diharapkan dapat menampung 24,5jt bauksit untuk memproduksi sekitar 8,5jt alumina.
“Jumlah ini diharapkan dapat menampung produksi bauksit nasional kita yang mencapai 28-29 juta ton,” kata Agus kepada Kontan.co.id (28/12/2023).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News