Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana menaikkan Pungutan Ekspor (PE) untuk Crude Palm Oil (CPO) sebagai upaya untuk membiayai subsidi dalam kebijakan mandatori biodiesel B40.
Kebijakan ini akan mengharuskan campuran bahan bakar minyak (BBM) solar dengan 40% bahan bakar nabati berbasis minyak sawit.
Rencana kenaikan ini akan dilaksanakan pada Januari 2025, bersamaan dengan implementasi B40.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa PE akan dinaikkan menjadi 10% untuk CPO, dengan volume pungutan hanya berlaku untuk CPO.
Baca Juga: Ekspor Kelapa Bulat Marak, Pengamat Minta Pemerintah Segera Membuat Regulasi
Sumber pendanaan untuk subsidi biodiesel akan tetap berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang kini telah berubah nama menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Airlangga juga menegaskan bahwa besaran PE akan tetap berada di angka 4,5% untuk hilir dan 10% untuk CPO.
"Pertama, kita naikin ke 10% (PE) dan volumenya untuk CPO saja," ungkap Airlangga saat ditemui di kantornya, Jumat (20/12).
Peningkatan tarif pungutan ekspor ini baru akan berlaku setelah diterbitkannya peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur perubahan tersebut. Sebelumnya, BPDPKS telah menerapkan PE sebesar 7,5% pada November 2024, lebih rendah dari sebelumnya yang mencapai 11%.
Baca Juga: Biodiesel Dipacu, Utilitas Produksi Digenjot
Jika peraturan baru ini diberlakukan, persentase pungutan ekspor CPO akan kembali naik.
BPDP, melalui Kepala Divisi Perusahaan, Achmad Maulizal, menjelaskan bahwa rincian penerapan kenaikan persentase PE ini masih menunggu hasil rapat dengan stakeholder terkait.
Sementara itu, Deputi bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Dida Gardera, memastikan bahwa dana BPDPKS masih cukup untuk mendukung pelaksanaan B40 hingga 2025.
Namun, dampak kenaikan PE ini dikhawatirkan akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO dan turunannya. Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyatakan bahwa peningkatan PE menjadi 10% dapat membuat ekspor CPO kurang kompetitif.
Menurut perhitungannya, dengan PE sebesar 7,5%, beban yang ditanggung per ton CPO sekitar 130 dolar AS, sedangkan dengan kenaikan 10% menjadi sekitar US$ 140.
Eddy juga menyebutkan bahwa penurunan ekspor pada 2024, serta meningkatnya biaya untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), menjadi alasan di balik kebutuhan kenaikan tarif PE.
Baca Juga: Program B40 Jadi Katalis Positif Emiten Sawit, Cermati Rekomendasi Sahamnya
Seiring dengan penurunan dana simpanan BPDPKS, Eddy memprediksi bahwa dana untuk subsidi biodiesel semakin terbatas, sehingga pemerintah perlu menaikkan tarif pungutan ekspor untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Selain itu, Dirut BPDPKS, Eddy Abdurrachman, sebelumnya juga mengungkapkan kekhawatiran terhadap menurunnya dana untuk subsidi biodiesel di masa depan.