Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perusahaan digital rajin menggandeng mantan pejabat publik untuk duduk di kursi komisaris atau penasihat perusahaan. Beberapa bahkan ada yang rangkap jabatan sambil menempati posisi komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Terbaru akhir April lalu ada Mantan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro yang didaulat sebagai Komisaris Utama Bukalapak. Tak hanya Bambang, Komisaris Independen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) Zannuba Arifah alias Yenny Wahid juga diangkat sebagai komisaris Bukalapak.
Menurut Bambang, ekonomi digital memiliki prospek untuk menjadi bagian dari arus utama kegiatan ekonomi di Indonesia. Pandemi Covid-19 mempercepat transformasi tersebut.
Di sisi lain meski sektor e-commerce semakin kompetitif, Bambang yakin sebagai salah satu marketplace berstatus unicorn Indonesia, Bukalapak akan terus ikut menopang pertumbuhan ekosistem digital dan pemberdayaan UMKM di Indonesia.
Baca Juga: Menilik deretan mantan pejabat publik yang kini menjadi petinggi perusahaan digital
"Prospeknya ekonomi digital akan menjadi bagian dari arus utama kegiatan ekonomi. Transformasinya dipercepat dengan adanya pandemi. Saya ingin lebih memahami proses transformasi tersebut," terang Bambang saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (9/5).
Sebelumnya dalam keterangan tertulis, CEO Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, pengangkatan Komisaris Utama Bambang Brodjonegoro serta Komisaris Yenny Wahid diharapkan memberikan semangat untuk berkolaborasi dengan terus berinovasi dan menjadikan teknologi sebagai hal yang krusial dan harus diadopsi, agar UMKM berkembang.
“Bambang Brodjonegoro dan Yenny Wahid diharapkan akan memberikan dampak yang lebih besar pada adopsi teknologi di UMKM serta inovasi yang mengarah pada transformasi digital dan penguatan UMKM,” kata Rachmat.
Sebelum Bambang dan Yenny, sejumlah nama mantan pejabat publik dan komisaris BUMN mengisi jabatan penting di perusahaan teknologi. Seperti mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardjojo yang menjadi Komisaris Utama Tokopedia
Lalu Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio yang menjabat Komisaris Utama Telkomsel dan Komisaris Tokopedia. Selanjutnya ada Mantan Deputi Gubernur BI Ronald Waas menjabat sebagai komisaris Go-jek.
Mantan Kapolri Badrodin Haiti juga diangkat sebagai penasihat senior Grab Indonesia. Kemudian ada Mantan Menteri Keuangan dan Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri Chatib Basri yang sebelumnya juga menjabat sebagai penasihat penyelenggara peer to peer (P2P) lending Modalku.
Baca Juga: Bukalapak angkat Bambang Brodjonegoro sebagai Komisaris Utama
Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai, rangkap jabatan komisaris BUMN dengan perusahaan swasta dimungkinkan sesuai regulasi. Terpenting, kata Toto, yang bersangkutan tidak merangkap jabatan pada industri sejenis sehingga dapat menghindari benturan kepentingan.
"Prinsipnya komisaris tersebut tidak di industri sejenis. Kalaupun nantinya ada corporate actions dengan potensi conflict of interest, maka yang bersangkutan sebaiknya pilih salah satu perusahaan. Harus commited dengan tugas sebagai pengawas perusahaan negara sesuai ketentuan yang mengaturnya," kata Toto kepada Kontan.co.id, Sabtu (8/5).
Toto berpandangan, pengangkatan mantan pejabat pemerintah di perusahaan digital sangat wajar. Hal ini terkait dengan pengalaman yang dianggap cocok dengan tantangan bisnis yang diharapkan ke depan. Paling tidak mereka diharapkan menjadi advisor bagi pengembangan bisnis dan memelihara government relations.
"Beberapa nama seperti Bambang Brodjonegoro kan cukup menonjol dalam kegiatan terkait teknologi dan inovasi, sehingga diharapkan bisa meningkatkan brand equity dari Bukalapak," sambung Toto.
Dihubungi terpisah, Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda juga menilai penunjukkan tokoh-tokoh publik sebagai komisaris atau bagian dari perusahaan teknologi merupakan strategi untuk menguatkan kepercayaan masyarakat, terutama terhadap jasa atau layanan yang ditawarkan perusahaan tersebut.
"Penunjukan ini juga terkait dengan integrasi layanan dengan kerja sama antara perusahaan teknologi dengan perusahaan lainnya seperti bisnis pembayaran dan bisnis fintech dengan perbankan," sebut Huda.
Huda melihat, perusahaan juga memiliki kepentingan untuk memelihara hubungan atau dekat dengan pemerintah. Hal ini serupa dengan bisnis konglomerasi lainnya, yang mana perusahaan besar akan semakin membutuhkan hubungan dengan pemerintah untuk mendukung program-programnya di level nasional.
Meskipun di sisi lain hal itu bisa saja menimbulkan persepsi negatif. "Hal positifnya program-program bisa lebih mudah terealisasi. Minusnya bisa jadi ada dugaan kongkalikong," imbuh Huda.
Baca Juga: Marketplace membantu UMKM berjualan di masa pandemi hingga menembus ekspor
Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin mengingatkan, sebagian pemegang saham dari perusahaan rintisan (startup) teknologi adalah investor asing.
Kompetensi dan jaringan dari nama-nama besar yang sudah menduduki jabatan publik tersebut penting dan dibutuhkan perusahaan, baik dalam konteks manajemen maupun membuka lobi dengan regulator.
Hal itu juga akan menjadi cerminan kapabilitas perusahaan untuk meyakinkan investor dan publik. Mengenai rangkap jabatan komisaris BUMN, Doni melihat memang dimungkinkan secara regulasi. Namun jika berbicara etika, dia memandang itu sebagai garis yang abu-abu.
Alhasil, integritas personal dan juga transparansi manajemen harus menjadi jawabannya. "Misal, ada seseorang jadi komisaris di BUMN, terus dia menjadi Komisaris di salah satu e-commerce. Nah, misal si BUMN ini memanfaatkan e-commerce untuk sales channel, itu harus melalui putusan yang transparan agar ada fair competition," pungkas Doni.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News