Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat internasional, Moody's Investor Service memperkirakan risiko pembiayaan utang kembali (refinancing) perusahaan batubara akan meningkat pada tahun 2022. Sementara, belum banyak perusahaan yang menyiapkan rencana refinancing yang jelas untuk membayar utang yang jatuh tempo pada periode tersebut.
Setidaknya ada tujuh perusahaan batubara yang mendapat penilaian Moody's. Mereka adalah PT Adaro Indonesia, PT Indika Energy Tbk (INDY), PT ABM Investama Tbk (ABMM), Geo Energy Resources Limited, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bayan Resources Tbk (BYAN), dan Golden Energy and Resources Ltd.
Baca Juga: Pemerintah siapkan Rp 5 triliun untuk penyaluran kurang bayar DBH anggaran 2019
Asisten Wakil Presiden dan Analis Moody's Maisam Hasnain mengatakan, risiko refinancing akan naik secara material menuju tahun 2022. Untuk membiayai kembali utang yang jatuh tempo, beberapa perusahaan ini bergantung pada upaya untuk mendorong kapasitas cadangan batubara yang semakin menipis. Sementara itu, beberapa perusahaan lain juga dibayangi risiko izin penambangan yang akan kedaluwarsa dalam beberapa tahun mendatang.
Risiko refinancing semakin diperburuk oleh meningkatnya kekhawatiran kreditur atas risiko lingkungan, yang secara material dapat membatasi sumber modal. Selain itu, beberapa penambang juga memiliki rekam jejak yang belum teruji dalam menebus obligasi dollar AS.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan BUMI Dileep Srivastava menampik kekhawatiran tersebut. Dileep mengklaim, kekhawatiran terhadap risiko cadangan batubara dan lingkungan akan bisa diatasi BUMI.
"Kami tidak melihat masalah seperti itu pada tahun 2022. Kami memenangkan banyak penghargaan program lingkungan. Cadangan kami lebih dari 2 miliar ton, kami tidak melihat masalah kehabisan batubara," terangnya kepada Kontan.co.id, Kamis (14/11).
Baca Juga: Kembangkan Kuala Tanjung, Pelindo I gandeng dua mitra asing
Selain itu, meski harga saat ini tertekan di tengah kondisi pasar yang kelebihan suplai, namun dalam tahun-tahun ke depan pasar batubara diproyeksi akan membaik. Dileep memperkirakan, impor dari negara-negara di Asia akan meningkat, terutama didorong oleh China dan India.
Sementara itu, konsumsi domestik juga diprediksi akan naik seiring dengan bertambahnya pembangkit listrik batubara (PLTU) dan juga program hilirisasi. Dileep bilang, BUMI pun tengah mengkaji kelayakan pengembangan gasifikasi batubara untuk program jangka menengah.
Secara operasional, Dileep menjelaskan bahwa BUMI memiliki langkah untuk memoles kinerja dalam beberapa tahun ke depan. Antara lain dengan memperkuat pangsa pasar dengan meningkatkan volume produksi dan penjualan, memperkuat diversifikasi pendapatan, serta mengoptimalkan kapasitas Kaltim Prima Coal (KPC), anak usaha BUMI yang merupakan produsen batubara terbesar di Indonesia.
Dengan begitu, Dileep pun optimistis BUMI tak akan kesulitan untuk membayar kredit. Saat ini, imbuh Dileep, BUMI pun masih melakukan diskusi dengan sejumlah kreditur mengenai skenario refinancing. "Tranche A dapat dilunasi pada awal 2021, Tranche B menjelang akhir 2022," sambungnya.
Hanya saja, terkait dengan risiko perizinan, Dileep mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan resmi dari pemerintah. Dileep berharap, keputusan mengenai Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bisa segera ditetapkan, dan dua anak usaha BUMI bisa mendapatkan perpanjangan izin menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Asal tahu saja, kontrak anak usaha BUMI akan habis dalam dua tahun ke depan. PT Arutmin Indonesia akan berakhir pada 1 November 2020, sementara kontrak KPC akan habis pada 31 Desember 2021. "Kami sangat menunggu keputusan akhir dari pemerintah tentang konversi PKP2B menjadi IUPK, yang seharusnya menjadi katalisator bagi kami dalam berbagai cara termasuk pembiayaan kembali yang lebih murah," terang Dileep.
Baca Juga: Hentikan ekspor bijih nikel tahun depan, bagaimana nasib penerimaan bea keluar?
Senada dengan itu, Head of Corporate Communication INDY Leonardus Herwindo mengatakan bahwa pihaknya sudah mengantisipasi risiko-risiko tersebut. Leonardus bilang, bagi INDY, surat utang yang jatuh tempo pada tahun 2022 sebesar US$ 265 juta.
Dalam kurun waktu tersebut, lanjutnya, INDY akan memonitor perkembangan untuk melakukan strategi refinancing. "Sumber pendanaan kami berasal dari internal kas, pinjaman bank atau pun global bond," sambungnya.
Perpanjangan izin pun juga menjadi sorotan bagi INDY. Maklum, anak usaha INDY yakni PT Kideco Jaya Agung akan berakhir kontraknya pada 13 Maret 2023. "Sementara terkait perpanjangan PKP2B, kami masih menunggu keputusan pemerintah," kata Leonardus.
Direktur ABM Investama (ABMM) Adrian Erlangga juga yakin pihaknya tidak akan kesulitan untuk membayar kredit sesuai jadwal. Adrian optimistis, kinerja ABMM pada tahun depan akan terdongkrak oleh kondisi harga dan pasar batubara yang lebih baik. "Insya Allah kita akan membaik tahun depan. Kita juga sudah ada planning untuk skema refinancing, tapi belum bisa kita jelaskan," ujarnya.
Sementara dari strategi operasional, Adrian memastikan cadangan batubara ABMM akan bertambah, lantaran akuisisi tambang yang direncanakan ditarget bisa rampung pada akhir tahun ini. "Cadangan baru akan kita peroleh sebenar lagi, tahun ini juga," sambung Adrian.
Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengatakan, kesanggupan pengelolaan risiko dalam refinancing akan berpulang pada kondisi dan strategi masing-masing perusahaan. Namun secara umum, Pandu yakin kondisi pasar batubara akan membaik pada tahun depan.
Kendati begitu, Pandu mengatakan bahwa kondisi pasar dan kinerja perusahaan juga akan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Misalnya, keputusan mengenai besaran dan harga batubara domestik (DMO) juga mengenai kepastian hukum dalam perpanjangan kontrak.
"Yang penting dari sisi kebijakan pemerintah, seperti DMO dengan batas harga atas bisa hilang, sehingga harga bisa balik ke market oriented. Mengenai PKP2B seharusnya selama mengikuti peraturan mendapat perpanjangan," kata Pandu.
Baca Juga: APNI ungkap adanya dugaan kartel oleh dua perusahaan smelter nikel
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menambahkan, terkait dengan risiko cadangan batubara, hal itu semestinya mendorong perusahaan untuk bisa gencar melakukan eksplorasi. Menurutnya, risiko terhadap cadangan memang bisa meningkat jika perusahaan yang terdaftar di bursa minim berinvestasi dalam aktivitas eksplorasi.
"Kalau minim (eksplorasi), tidak ada penemuan baru, sehingga ada kekhawatiran mengenai cadangan dalam jangka panjang," kata Hendra.
Sedangkan menurut Ketua Indonesia Mining Institute Irawandy Arif, proyeksi industri batubara Indonesia hingga tahun 2022 masih positif. Terkait risiko, Irwandy melihat risiko terbesar bukan datang dari isu lingkungan dan penyusutan cadangan. Melainkan dari perpanjangan PKP2B dan juga batasan luas wilayah.
"Paling tidak (industri batubara Indonesia) tidak terpuruk. Mungkin yang paling mengkhawatirkan, yang dapat mengubah outlook positif adalah perpanjangan PKP2B dan batasan luas," ungkap Irwandy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News