Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Dadan Kusdiana, juga memastikan tidak ada rencana pemerintah membuka izin baru PLTU.
Pengecualian yang ada, menurutnya, harus memenuhi syarat kontribusi ekonomi dan pengendalian emisi.
Namun sejumlah pihak menilai draf revisi justru memperluas celah pembangunan PLTU baru.
Policy Strategist CERAH Naomi Devi Larasati menilai, perubahan regulasi ini berpotensi menghambat target energi bersih.
“Penambahan pengecualian PLTU baru dapat memengaruhi kepercayaan investor dan menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan,” ujarnya.
Baca Juga: Celios: Ada 21 PLTU Captive Baru, Target Bauran Energi Terbarukan Kian Melenceng
Naomi memperingatkan bahwa pembangunan PLTU baru akan menghambat pencapaian target bauran energi 19%–23% pada 2030 serta komitmen 100% energi terbarukan pada 2035.
Policy & Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, menambahkan aturan baru terkait PLT hibrida bisa menjadi celah bagi perluasan PLTU.
Ia mencontohkan proyek PLTU Mulut Tambang Kalselteng-3 yang telah tercantum dalam RUPTL 2025–2034.
“Penambahan PLT hibrida on-grid berpotensi memperlambat masuknya pembangkit energi terbarukan,” katanya.
Kapasitas Tambahan Masih Didominasi PLTU
Kelebihan pasokan listrik akibat Program 35.000 MW disebut masih menjadi problem mendasar dalam transisi energi.
Baca Juga: Industri Ingatkan Produksi Terganggu, Jika Penghentian Impor Garam Tak Berbasis Data
Pengamat energi dari Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai, arah kebijakan yang memberi ruang bagi PLTU justru menjadi sinyal kemunduran.
“Dunia bergerak cepat. Sejak 2023, investasi energi bersih global telah melampaui fosil. Menambah PLTU justru memperdalam tantangan PLN dan menekan minat investasi EBT,” ujar Putra.
Ia juga menilai kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batubara memperlambat transisi karena membuat biaya listrik berbasis batubara tetap murah sehingga tidak mendorong percepatan EBT.
Seperti diketahui, RUPTL 2025–2034 menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW, di mana 42,6 GW atau 61% berasal dari EBT, 10,3 GW (15%) dari sistem penyimpanan energi, serta 16,6 GW (24%) dari pembangkit fosil seperti gas dan batubara.
Selanjutnya: DPR Desak Pemerintah Percepat Penetapan Harga Patokan Timah, Ini Alasannya
Menarik Dibaca: 14 Inspirasi Warna Cat Dapur yang Bikin Mood Naik dan Ruangan Terlihat Lebih Cerah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













