Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional mencapai 107 gigawatt (GW) per Oktober 2025.
Dari jumlah tersebut, kapasitas pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) tercatat 15,47 GW atau 14,4% dari total.
Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Tri, menjelaskan komposisi pembangkit EBT masih didominasi tenaga air sebesar 7,1%, biomassa 3%, panas bumi 2,6%, surya 1,3%, bayu 0,1%, serta sumber terbarukan lainnya sekitar 0,3%.
Baca Juga: DPR Desak Pemerintah Percepat Penetapan Harga Patokan Timah, Ini Alasannya
Meski terus bertambah, kontribusi EBT belum mampu menggeser dominasi pembangkit konvensional, terutama PLTU batubara.
“Hingga Oktober 2025, produksi listrik PLN dan Independent Power Producer (IPP) mencapai 290 TWh. Dari total tersebut, 193,22 TWh atau 66,52% masih bersumber dari batubara,” ujar Tri dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama PLN dan DPR di Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Produksi listrik dari gas tercatat 47,46 TWh (16,34%), EBT sebesar 37,48 TWh (12,9%), dan BBM+BBN mencapai 12,3 TWh (4,23%).
Pemerintah memproyeksikan produksi listrik tahun ini tembus 354 TWh atau naik 4,42% dibanding realisasi 2024 yang sebesar 339 TWh.
Porsi batubara diperkirakan tetap mendominasi dengan kontribusi 235,32 TWh atau 66,54%.
Tri menegaskan PLTU batubara masih dibutuhkan untuk menopang beban dasar (base load) sistem kelistrikan nasional karena beroperasi penuh 24 jam.
Sepanjang 2025, terdapat tambahan kapasitas PLTU sebesar 6,3 GW yang berasal dari proyek eksisting sebanyak 3,2 GW telah beroperasi komersial, sementara 3,1 GW lainnya masih dalam tahap konstruksi.
Meski produksi listrik dari EBT meningkat, capaian bauran energi terbarukan masih jauh dari target 17%–20% pada tahun ini.
Baca Juga: Penjualan BBM Pertamina Patra Niaga Tembus 87 Juta KL per Oktober 2025
Revisi Perpres 112/2022 Jadi Sorotan
Di sisi lain, pemerintah tengah menyiapkan revisi Perpres 112/2022 tentang percepatan pengembangan EBT.
Rencana ini menjadi sorotan publik karena draf yang beredar dinilai membuka peluang pembangunan PLTU baru.
Namun pemerintah menegaskan revisi tersebut disusun untuk menjaga keandalan sistem listrik, bukan melonggarkan pembangunan PLTU.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menegaskan revisi tetap diarahkan untuk memperluas pemanfaatan energi bersih.
“Sesuai RUPTL PLN, tidak ada pelonggaran pembangunan PLTU baru. Yang sudah masuk perencanaan tetap berjalan. PLTU beremisi tinggi justru sedang disusun rencana penghentian dini (early retirement),” kata Yuliot kepada Kontan.co.id, Minggu (16/11).
Baca Juga: Penjualan BBM Pertamina Patra Niaga Tembus 87 Juta KL per Oktober 2025
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Dadan Kusdiana, juga memastikan tidak ada rencana pemerintah membuka izin baru PLTU.
Pengecualian yang ada, menurutnya, harus memenuhi syarat kontribusi ekonomi dan pengendalian emisi.
Namun sejumlah pihak menilai draf revisi justru memperluas celah pembangunan PLTU baru.
Policy Strategist CERAH Naomi Devi Larasati menilai, perubahan regulasi ini berpotensi menghambat target energi bersih.
“Penambahan pengecualian PLTU baru dapat memengaruhi kepercayaan investor dan menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan,” ujarnya.
Baca Juga: Celios: Ada 21 PLTU Captive Baru, Target Bauran Energi Terbarukan Kian Melenceng
Naomi memperingatkan bahwa pembangunan PLTU baru akan menghambat pencapaian target bauran energi 19%–23% pada 2030 serta komitmen 100% energi terbarukan pada 2035.
Policy & Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, menambahkan aturan baru terkait PLT hibrida bisa menjadi celah bagi perluasan PLTU.
Ia mencontohkan proyek PLTU Mulut Tambang Kalselteng-3 yang telah tercantum dalam RUPTL 2025–2034.
“Penambahan PLT hibrida on-grid berpotensi memperlambat masuknya pembangkit energi terbarukan,” katanya.
Kapasitas Tambahan Masih Didominasi PLTU
Kelebihan pasokan listrik akibat Program 35.000 MW disebut masih menjadi problem mendasar dalam transisi energi.
Baca Juga: Industri Ingatkan Produksi Terganggu, Jika Penghentian Impor Garam Tak Berbasis Data
Pengamat energi dari Energy Shift Institute Putra Adhiguna menilai, arah kebijakan yang memberi ruang bagi PLTU justru menjadi sinyal kemunduran.
“Dunia bergerak cepat. Sejak 2023, investasi energi bersih global telah melampaui fosil. Menambah PLTU justru memperdalam tantangan PLN dan menekan minat investasi EBT,” ujar Putra.
Ia juga menilai kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batubara memperlambat transisi karena membuat biaya listrik berbasis batubara tetap murah sehingga tidak mendorong percepatan EBT.
Seperti diketahui, RUPTL 2025–2034 menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW, di mana 42,6 GW atau 61% berasal dari EBT, 10,3 GW (15%) dari sistem penyimpanan energi, serta 16,6 GW (24%) dari pembangkit fosil seperti gas dan batubara.
Selanjutnya: DPR Desak Pemerintah Percepat Penetapan Harga Patokan Timah, Ini Alasannya
Menarik Dibaca: 14 Inspirasi Warna Cat Dapur yang Bikin Mood Naik dan Ruangan Terlihat Lebih Cerah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













