Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Inas Nasrullah Zubir meminta pemerintah menyelesaikan kewajiban utang PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN sebelum meleburnya menjadi anak usaha PT Pertamina (Persero) dalam holding Badan Usaha Milik Negara Minyak dan Gas Bumi (BUMN Migas).
Hal tersebut perlu dilakukan agar beban utang PGN tidak memberatkan rencana ekspansi Pertamina ketika holding BUMN Migas sudah efektif beroperasi.
Menurut Inas, PGN memiliki banyak tanggungan utang sebagai dampak penugasan yang diberikan pemerintah untuk membangun sejumlah proyek. Tahun lalu, perusahaan hilir gas bumi tersebut mendapat penugasan membangun 26 ribu jaringan gas untuk pelanggan rumah tangga di Lampung, Musi Banyuasin, Mojokerto, dan Rusun Kemayoran Jakarta.
Selain itu sejak 2016 silam, PGN mendukung program pemerintah meningkatkan pemanfaatan gas bumi untuk menggantikan bahan bakar minyak (BBM) dengan memasang target membangun 60 unit Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di seluruh Indonesia sampai 2019.
Untuk mendanai proyek penugasan pemerintah tersebut, PGN menggunakan kas perusahaan, pinjaman bank, maupun dari dana penerbitan obligasi. Mengutip laporan keuangan kuartal IV 2017, PGN tercatat memiliki liabilitas sebesar US$ 3,10 miliar yang terdiri dari utang jangka pendek sebesar 466,66 juta dolar AS dan utang jangka panjang US$ 2,63 miliar.
"Kalau mau menyelamatkan PGN, bereskan dulu utangnya PGN. Jangan dengan cara membentuk holding di saat laba PGN dalam tren menurun dan utang menumpuk," ujar Inas saat dihubungi, Kamis (15/3).
Politisi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) juga mengingatkan bahwa dari rapat dengar pendapat Panitia Kerja (Panja) Aset BUMN dengan pejabat Kementerian BUMN dan manajemen Pertamina kemarin (14/3), terungkap bahwa PGN masih harus menanggung biaya operasi berupa sewa fasilitas regasifikasi dan penyimpanan gas atau Floting Storage and Regasification ( FSRU) Lampung yang juga merupakan penugasan pemerintah.
"PGN itu harus bayar US$ 90 juta per tahun untuk FSRU yang tidak maksimal pemanfaatannya. Itu kan harus diselesaikan dulu dong," ujar Inas.
Kinerja PGN
Sebelumnya Anggota Komisi VI DPR Rieke Diah Pitaloka meminta pemerintah membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Pertamina. PP tersebut menjadi landasan hukum pengalihan saham seri B PGN kepada Pertamina dalam proses pembentukan holding BUMN Migas.
Dalam catatan Rieke, PGN memiliki kinerja yang kurang menggembirakan terutama penurunan jumlah laba bersih dalam lima tahun terakhir, padahal jumlah aset perusahaan terus bertambah.
Rinciannya, pada 2012 PGN mencatatkan pendapatan US$ 2,58 miliar dengan laba bersih US$ 915 juta. Tahun 2013 pendapatan perusahaan naik menjadi US$ 3,001 miliar sedangkan laba bersih turun menjadi US$ 838 juta.
Kemudian di 2014, perusahaan berkode saham PGAS memperoleh pendapatan US$ 3,25 miliar dengan laba turun menjadi US$ 711 juta; hingga pada 2017, PGN membukukan pendapatan US$ 2,16 miliar sedangkan laba bersih hanya sebesar US$ 98 juta.
"Ada peningkatan aset dan pendapatan yang besar di 2012-2016, tapi laba usaha perusahaan justru mengalami penurunan. Kayak begini Anda mau menimpakan persoalan kepada Pertamina?" tanya Rieke.
Ia menilai, jika penggabungan PGN sebagai anak usaha Pertamina justru merugikan negara maka hal tersebut bisa saja dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Pembentukan holding BUMN Migas dilakukan pemerintah tanpa ada pembicaraan teknis dengan DPR, sehingga kami menilainya sebagai tindakan terburu-buru yang bisa berdampak pada kerugian negara. Kami akan sampaikan hal ini kepada KPK," ujar Rieke. (Sanusi)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Pemerintah Diminta Selesaikan Utang PGN Sebelum Dilebur dalam Holding BUMN Migas,
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News