Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) terus berupaya memastikan transisi penggunaan energi fosil ke energi yang ramah lingkungan bisa berjalan dengan baik.
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya mendukung program bauran energi terbarukan yang disampaikan oleh pemerintah. Salah satunya melalui Perpres No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional.
Untuk itu, Pertamina lewat anak usahanya PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) berusaha memaksimalkan sumber daya energi geothermal alias panas bumi agar bisa digunakan secara luas oleh masyarakat di masa mendatang. Apalagi, potensi sumber panas bumi di Indonesia mencapai kisaran 28 gigawatt-30 gigawatt (GW).
Baca Juga: Pertamina: Kunci penurunan harga gas industri ada di sektor hulu
"Indonesia masuk tiga besar pemilik sumber daya panas bumi terbanyak di dunia," kata Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat di Gedung DPR RI, Selasa (25/2).
Ia melanjutkan, Pertamina saat ini mengelola sejumlah wilayah kerja (WK) panas bumi dengan perkiraan kapasitas sekitar 1.877 megawatt (MW). WK panas bumi tersebut ada yang dioperasikan penuh oleh Pertamina dan ada juga yang dikelola bersama perusahaan lain sebagai mitra strategis.
Namun, tantangan utamanya berasal dari kemampuan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam menyerap panas bumi tersebut dan memprosesnya sebagai energi listrik.
Sebab, ketika beban listrik rendah, PLN biasanya akan mendahulukan penggunaan energi yang paling murah sebagai upaya efisiensi. "Dari segi BPP, energi yang paling murah adalah batubara yang diolah di PLTU," ujar Nicke.
Harga panas bumi sendiri, lanjut Nicke, masih tergolong mahal lantaran sumber energi tersebut mayoritas berada di luar pulau Jawa. Investasi untuk pengembangan energi tersebut juga terbilang mahal.
Baca Juga: SKK Migas dan KKKS siap optimalkan sumur tua
Selain itu, Pertamina juga akan memaksimalkan dimethylether atau produk hasil gasifikasi batubara sebagai subtitusi Liqufied Petroleum Gas (LPG). Ini mengingat Indonesia masih sering mengimpor LPG dari luar negeri hingga 5 juta metrik ton per tahun.
Untuk program yang satu ini, Pertamina sudah bekerjasama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) untuk pengembangan pabrik DME di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Proyek tersebut juga melibatkan Air Product & Chemical Inc yang merupakan perusahaan asal Amerika Serikat untuk membantu dari segi optimalisasi teknologi pengolahan DME.
Nicke menyebut, pihaknya sudah menghitung potensi harga produk DME yang diperkirakan sekitar US$ 20 per ton-US$ 21 per ton.
"Angkanya murah karena batubara yang digunakan untuk DME adalah kalori rendah," imbuh dia.
Pabrik DME hasil kerjasama Pertamina dan PTBA nantinya akan menghasilkan DME sebanyak 1,4 juta ton per tahun.
Catatan Kontan.co.id, nilai investasi pembangunan pabrik DME mencapai US$ 3,2 miliar. Investasi tersebut besar karena proses pengembangan DME berlangsung dari hulu hingga hilir.
Baca Juga: Kementerian ESDM tawarkan lima wilayah kerja panas bumi di tahun ini
Agar transisi dari LPG ke DME berjalan maksimal, Nicke berharap akan ada lima pabrik DME yang bisa dibangun di Indonesia.
"Karena satu pabrik kapasitasnya 1,4 juta ton, maka mesti lima pabrik yang ada di Indonesia supaya bisa menutupi ekspor lima juta ton LPG per tahun," terang Nicke.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News