Reporter: Rilanda Virasma | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri properti masih belum unjuk gigi meski telah dihujani insentif dan pemangkasan suku bunga acuan. Sejumlah analis menilai, akar masalahnya terletak pada daya beli masyarakat yang masih lesu.
Survei Harga Properti Bank Indonesia di kuartal III 2025 mencatat, Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) tumbuh sebesar 0,84% secara tahunan (YoY), lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya sebesar 0,90% (YoY).
Seiring dengan itu, penjualan properti residensial di pasar primer terkontraksi sebesar 1,29% YoY, namun lebih baik bila dibandingkan kuartal sebelumnya yang menurun 3,80% YoY.
Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menuturkan, pelemahan memang terasa di kalangan pelaku bisnis properti, khususnya menjelang kuartal III 2025. Padahal, pada awal tahun sektor ini sempat mencatat pertumbuhan penjualan dua digit.
Menurutnya, persoalan utama datang dari daya beli masyarakat yang belum pulih, yang membuat berbagai insentif belum mampu mendorong penjualan secara signifikan.
Baca Juga: Ditopang Segmen Residensial, Marketing Sales BSDE Tumbuh 9% di Kuartal I 2025
Padahal, pemerintah sudah mengguyur beberapa stimulus untuk menopang industri properti, mulai dari perpanjangan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk rumah hingga 2027 hingga program Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan yang menyasar konsumen maupun pengembang menengah. Dalam program tersebut, pengembang bisa mendapatkan pembiayaan hingga Rp 20 miliar dengan subsidi bunga sebesar 6%.
“Artinya pemerintah sudah banyak berbuat untuk mengakselerasi pertumbuhan sektor properti, hanya problem-nya ada di daya beli masyarakat yang menurun sehingga mengurangi minat masyarakat membeli rumah,” kata Bambang saat dihubungi Kontan, Senin (10/11/2025).
Setali tiga uang, Pengamat Properti Colliers, Aleviery Akbar menilai kondisi sektor properti residensial pada kuartal III 2025 memang masih dibayangi pelemahan permintaan akibat daya beli masyarakat. Walau begitu, justru dari sisi harga pasar menurutnya masih relatif stabil.
“Pembeli maupun developer masih pada posisi wait & see menunggu momentum pertumbuhan ekonomi membaik,” ucap Aleviery.
Lebih lanjut, ia menilai sejumlah faktor struktural menghambat laju penjualan di pasar residensial. Pertama, kenaikan harga bangunan akibat peningkatan biaya material konstruksi dan tenaga kerja. Kedua, tingginya suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang membuat cicilan rumah terasa berat. Ketiga, perizinan dan birokrasiyang masih berbelit, terutama untuk proyek baru.
Baca Juga: Pasar Rumah Premium Stabil, Developer Kelas Atas Tetap Ekspansif
Keempat, tingginya proporsi uang muka (down payment) yang diwajibkan perbankan untuk pengajuan KPR. Kelima, beban perpajakan, termasuk PPN dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang turut menekan minat beli masyarakat. “Jika faktor-faktor tersebut bisa diminimalisir maka hambatan bisa dikurangi,” tambahnya.
Aleviery juga mengomentari soal kebijakan moneter dan fiskal yang sudah diterapkan pemerintah. Menurutnya, meski BI telah menurunkan suku bunga acuan hingga lima kali tahun ini, dampaknya belum terasa nyata di lapangan. Sebab, pemangkasan tersebut tak diiringi dengan penurunan suku bunga KPR bank.
Perbankan hanya memberi bunga tetap (fixed rate) rendah sekitar 3%–5% untuk satu sampai tiga tahun pertama, lalu kembali ke sistem floating. Saat ini, lanjut Aleviery, suku bunga KPR untuk tenor di bawah 10 tahun masih berkisar 8–9%, dan bahkan di atas 10% untuk tenor 15–20 tahun.
Oleh karena itu, ia menilai insentif PPN DTP memang membantu, tapi belum cukup untuk menggerakkan pasar secara signifikan tanpa dukungan dari sisi pembiayaan.
Bambang menimpali, keterbatasan implementasi PPN DTP yang hanya berlaku bagi unit rumah siap huni (ready stock) juga turut menjadi penghambat lain. Saat ini, insentif PPN DTP hanya berlaku untuk rumah yang sudah jadi (ready stock). Artinya, pembeli baru bisa dapat insentif jika rumahnya sudah siap huni. Akibatnya, banyak proyek indent atawa rumah yang masih dalam proses pembangunan tidak bisa menikmati fasilitas ini, padahal penjualan indent cukup besar di pasar perumahan.
Selain soal daya beli, Ketua Umum The Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto juga menyoroti persoalan jarak rumah subsidi yang jauh dari pusat perkotaan sebagai salah satu penghambat lain, sehingga biaya transportasi yang mesti dikeluarkan juga tinggi. Padahal menurutnya minat masyarakat untuk memiliki rumah sebetulnya besar.
Baca Juga: Alam Sutera Kejar Penjualan Akhir Tahun, Andalkan Produk Baru dan Insentif Properti
Selain itu, maraknya pinjaman daring dan mekanisme pembayaran buy now pay later (BNPL) membuat banyak masyarakat yang mengajukan KPR tidak lolos sejak tahap BI-checking. Dus, mereka gagal memiliki rumah.
Dari sisi penjualan properti nonsubsidi atau komersial, yang kerap diserap masyarakat kelas menengah atas, juga turut Bambang soroti tren pelemahannya. Penyebabnya lagi-lagi persoalan ekonomi, yang kali ini juga menyentuh kelas menengah atas. “Jadi memang ini kelas menengah bawah saja lagi sesak napas, ya, begitu juga kelas menengah atas,” ujarnya.
Baik Bambang, Aleviery, maupun Zulfi sepakat bahwa prospek properti masih sangat bergantung pada pemulihan ekonomi nasional. Bila target pertumbuhan ekonomi tahun ini dapat tercapai, mereka optimistis pasar properti akan berangsur pulih.
Bambang pun mengusulkan penurunan BPHTB dari 5% menjadi 2,5% untuk rumah non-subsidi agar minat beli meningkat.
Baca Juga: Investasi Properti: Mengapa Tol Buat Harga Depok, Yogya, Tangerang Naik?
Aturan insentif PPN DTP juga kata Bambang perlu diperluas untuk rumah indent, tapi dengan syarat waktu pembangunan maksimal 6 bulan. Selain itu, ia menekankan pentingnya fasilitas kredit murah bagi generasi Z dan masyarakat non-MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).
Sementara itu, Zulfi menyarankan pemerintah untuk membangun public housing atau perumahan yang dibangun dan dibiayai oleh pemerintah yang dekat dengan kawasan perkantoran dan industri. Selain itu, permasalahan harga tanah dan mafianya yang masih merajalela juga perlu diberantas. Sebab, harga tanah berpengaruh hampir 40% terhadap penentuan harga properti.
“Perbankan bisa memberikan suku bungan KPR yang rendah bagi pembeli dan bunga pembiayaan yang rendah juga kepada developer untuk bisa ekspansi bisnisnya. Dengan begitu, properti akan naik seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional,” timpal Aleviery.
Baca Juga: APLN: Perpanjangan PPN DTP hingga 2027 Jadi Katalis Positif Industri Properti
Selanjutnya: Usai Dilantik Jadi Kepala BRIN, Arif Satria Janji Fokus Tambah Jumlah Peneliti
Menarik Dibaca: Pasar Kripto Rebound, Starknet Melejit 52% ke Puncak Top Gainers
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













