Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Praktik bakar uang yang kerap dilakukan perusahaan rintisan (startup) berbasis teknologi sudah mulai berakhir. Manajemen perusahaan dan termasuk para mitra terkait saat ini justru sudah harus mulai berpikir keberlangsungan usaha secara jangka panjang.
”Tiap entitas punya kekuatan dan napas masing-masing. Tapi saatnya berpikir bahwa bakar uang akan jadi zero-sum game. Artinya, satu pihak rugi, pihak lain untung. Harus berakhir,” ujar Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero dalam keterangan tertulis, Sabtu (15/2).
Perusahaan yang semula sebagai rintisan kemudian mendapat suntikan investasi besar dari institusi besar sekalipun, Poltak menegaskan, harus tetap menjalankan praktik tata kelola yang baik.
”Semua ini masalah keberlanjutan atau sustainability. Startup tidak bisa seperti koboi. Semakin ke sini harus semakin perhatikan good corporate governance (GCG),” sarannya.
Baca Juga: Era bakar uang sudah berakhir, Uber akan ubah strategi bisnis
Sebab hanya dengan GCG, Poltak melanjutkan, sebuah perusahaan termasuk startup bisa berkelanjutan. Bertahan dan terus berkembang dalam jangka Panjang. ”GCG juga yang menjadi pegangan investor,” imbuhnya.
Menghentikan praktik bakar uang bukan sekadar menyelamatkan perusahaan dan para pihak terlibat di dalamnya tetapi juga menyelamatkan industri. Salah satunya untuk mulai mengetahui kebutuhan konsumen secara riil.
”Jadi untuk mengetahui kebutuhan konsumen sebenarnya seperti apa. Bukan konsumen yang menggunakan karena ada promo saja karena kesannya jadi mengada-ada. Promo boleh saja dilakukan tetapi bukan yang terus-terusan,” ujarnya.
Selama masih terdistorsi oleh promo hasil aksi bakar uang, kata Poltak, tidak akan pernah ada gambaran sesungguhnya dari para pengguna produk atau jasa perusahaan. ”Silakan bakar duit tapi apa anda yakin bisa dapat gambaran yang riil dan spesifik?” terusnya.
Ketika hal tersebut terjadi, Poltak meyakini, bakar uang yang dilakukan tidak akan pernah kembali menjadi sebuah keuntungan. ”Ini alasan yang cukup jelas. Jika praktik bisnis Anda tidak melahirkan data yang baik, itu percuma” tandasnya.
Baca Juga: Tak lagi bakar uang, pendapatan Gojek meningkat dua kali lipat
Poltak memberi contoh bagaimana startup co-working space, WeWork dan investornya SoftBank harus menerima kegagalan karena terlalu banyak bakar uang. Salah satu imbasnya adalah gagal masuk bursa saham (IPO).
”Kita bisa lihat dalam prospektus WeWork waktu mau IPO itu banyak hal tidak sustain dan benturan kepentingan,” ucap Poltak.
Analis menilai model bisnis bakar uang seperti dilakukan WeWork yang merupakan startup asal Amerika Serikat (AS) itu tidak selalu bagus untuk masa depan perusahaan.
Data Crunchbase mencatat, SoftBank telah menyuntik dana ke WeWork hingga US$ 10,4 miliar. Investasi terakhir dari SoftBank mencapai US$ 2 miliar. Sekitar US$ 700 juta atau setara hampir Rp 10 triliun per kuartalnya digunakan untuk promosi dengan model bakar uang.
Setelah kegagalan IPO tersebut, WeWork diisukan menghadapi risiko bangkrut.
Baca Juga: Jack Ma bongkar strategi investasi CEO Softbank di Startup
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News