Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan perkembangan industri panas bumi atawa geothermal di Tanah Air masih sulit dikembangkan selama UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan belum di harmonisasi dengan peraturan.
Pasalnya, dalam aturan tersebut menyebutkan pengusahaan geothermal tidak boleh dilakukan di kawasan hutan konservasi.
Tisnaldi, Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM mengatakan, dari 299 titik geothermal di Indonesia, setengahnya terletak di kawasan hutan sehingga sulit untuk dikembangkan. "Sebanyak 48 titik atau sekitar 6.157 megawatt berada dalam kawasan hutan konservasi," kata dia dalam Seminar Nasional Majelis Nasional Kahmi, Selasa (4/3).
Sekarang ini, Kementerian ESDM tengah aktif bersama DPR RI untuk merevisi UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Rencananya, kata-kata pertambangan yang tertulis dalam UU tersebut akan dihapuskan, sehingga kegiatan panas bumi di kawasan hutan lindung dan hutan produksi akan dapat dilakukan pengusaha di kemudian hari.
Namun, revisi aturan ini masih belum lengkap selama UU Kehutanan terkait penggunaan hutan konservasi belum dilakukan amandemen. "Di UU Kehutanan menyebutkan kalau hutan konservasi hutan hanya bisa lakukan kegiatan konservasi, sehingga kegiatan eksplorasi panas bumi tidak akan bisa dilakukan," kata Tisnaldi.
Adapun wilayah kerja panas bumi (WKP) yang terhambat pengembangannya salah satunya WKP Kamojang yang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy. Alhasil, perusahaan pelat merah tersebut hanya mengembangkan potensi panas bumi di luar hutan konservasi.
Tisnaldi bilang, pihaknya tetap berupaya melakukan dialog dengan Kementerian Kehutanan agar kendala pengembangan panas bumi ini bisa teratasi.
"Selain kawasan hutan, paradigma masyarakat mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) juga harus diubah dan terus disosialisasikan," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News