Reporter: Muhammad Julian | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan solusi terbaik atas krisis pasokan batubara untuk kelistrikan yang sempat terjadi beberapa waktu lalu, masih berlangsung. Teranyar, usulan berupa pemungutan pajak ekspor untuk komoditas batubara juga mencuat. Hal itu diusulkan Ekonom Senior, Faisal Basri.
Faisal bilang, pemerintah sebaiknya memberlakukan pungutan pajak ekspor terhadap pengusaha batubara. Besaran persentase pajaknya diatur secara progresif dengan mengikuti perkembangan harga batubara yang ada. Di mana, semakin tinggi harga batubara global semakin tinggi pula persentase pungutan pajak ekspornya, dan sebaliknya.
Ini dilakukan agar pengusaha tidak lalai memenuhi kewajibannya. Terlebih, pungutan ekspor bisa dipungut di muka, yakni sebelum pengapalan dilakukan.
“Jadi kapal baru bisa berlayar setelah diverifikasi dia sudah bayar pajak ekspor. enggak ada yang menunggak,” ujar Faisal kepada Kontan.co.id (19/1).
Dengan memberlakukan kebijakan pungutan ekspor, pemerintah bisa menerapkan kebijakan transaksi jual-beli batubara untuk kelistrikan dengan mekanisme harga pasar.
Baca Juga: Pelaku Usaha Batubara Usulkan Sejumlah Perbaikan Tata Kelola DMO
Faisal optimistis, pungutan ekspor progresif yang diterapkan bakal dengan sendirinya mendorong pengusaha batubara untuk memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan batubara domestik alias domestic market obligation (DMO). Sebab margin keuntungan pengusaha akan berkurang ketika melakukan penjualan ke pasar luar negeri akibat pungutan pajak ekspor.
Diakui Faisal, penerapan transaksi jual beli batubara domestik untuk kebutuhan sektor kelistrikan dengan mekanisme harga pasar bisa membebani keuangan PLN. Apalagi PLN tidak bisa seenaknya menaikkan tarif listrik untuk menutupi biaya pembelian batubara ketika harga batubara tinggi.
Namun, hal tersebut bisa ditutupi melalui skema subsidi energi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tapi hal ini juga tidak akan menambah beban APBN, sebab negara mendapatkan pendapatan dari pajak ekspor batubara yang diterapkan.
“Jadi enggak meningkatkan beban anggaran karena ada tambahannya (pendapatan negara dari pajak ekspor batubara) jauh lebih besar dari subsidi yang diberikan, tapi semuanya lewat proses APBN,” terang Faisal.
Sebagai pembanding, dalam aturan DMO yang berlaku saat ini, harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum dari produsen batubara ke PLN atau IPP tidak mengikuti harga pasar, namun dipatok sebesar US$ 70 per metrik ton.
Aturan tersebut dimuat dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139 Tahun 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri.
Penetapan capping harga US$ 70 per ton, menurut pandangan Faisal dan juga beberapa pihak lain, merupakan biang kerok dari terjadinya krisis pasokan batubara ke PLTU milik PLN dan independent power producer (IPP) yang sempat terjadi belum lama ini.
Selisih harga antara harga patokan batubara untuk pemenuhan DMO yang sebesar US$ 70 per ton dengan harga batubara global yang sedang tinggi-tingginya diduga membuat sejumlah pengusaha batubara lalai memenuhi kewajiban DMO demi mengejar cuan dari harga batubara global di pasar ekspor.
Asal tahu, pada tahun 2021 lalu, harga batubara global bahkan sempat menembus angka US$ 200 per ton.
Baca Juga: DPR Berkomitmen Memperbaiki Tata Kelola DMO Batubara
Sebelum Faisal, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) juga sempat memberi usulan berupa pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) untuk mengatasi persoalan pemenuhan DMO batubara.
Dalam skema ini, PLN dan IPP akan membeli batubara dari produsen dengan pasar. Selisihnya akan ditanggung/dibayar oleh BLU. Dananya berasal dari pungutan yang dibebankan kepada seluruh produsen batubara di Indonesia.
Nilai pungutannya dihitung berdasarkan selisih antara harga pasar yang dibeli oleh sektor kelistrikan dengan harga berdasarkan acuan US$ 70 per ton.
Menurut Faisal, penerapan pajak ekspor lebih efisien dan sederhana ketimbang skema BLU, sebab implementasinya tidak memerlukan pembentukan badan baru.
Kalaupun BLU mau dibentuk, badan tersebut menurut Faisal sebaiknya dibentuk untuk keperluan lain seperti misalnya pemungutan iuran untuk pengembangan energi baru terbarukan (EBT), bukan mengurusi subsidi untuk meringankan beban keuangan PLN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News