kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   -7.000   -0,37%
  • USD/IDR 16.255   69,00   0,43%
  • IDX 6.901   35,74   0,52%
  • KOMPAS100 1.004   4,88   0,49%
  • LQ45 768   3,99   0,52%
  • ISSI 227   1,02   0,45%
  • IDX30 396   2,65   0,67%
  • IDXHIDIV20 457   1,32   0,29%
  • IDX80 113   0,52   0,46%
  • IDXV30 114   -0,13   -0,12%
  • IDXQ30 128   0,82   0,64%

Fly Jaya Masuk Rute Domestik, Bisnis Penerbangan Domestik Masih Menjanjikan?


Senin, 07 Juli 2025 / 20:15 WIB
Fly Jaya Masuk Rute Domestik, Bisnis Penerbangan Domestik Masih Menjanjikan?
ILUSTRASI. Pesawat maskapai Fly Jaya. Maskapai baru Fly Jaya resmi memulai operasionalnya pada akhir pekan lalu, dengan rute perdana Jakarta–Yogyakarta menggunakan pesawat ATR 72-500.


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Maskapai baru Fly Jaya resmi memulai operasionalnya pada akhir pekan lalu, dengan rute perdana Jakarta–Yogyakarta menggunakan pesawat ATR 72-500. 

Meski pasar penerbangan domestik masih stagnan, pengamat penerbangan Alvin Lie menilai kehadiran Fly Jaya sebagai langkah strategis jangka panjang untuk menggarap ceruk pasar penerbangan berbiaya menengah yang dilayani pesawat baling-baling besar (propeller).

Alvin mencatat bahwa jumlah penumpang penerbangan domestik pada 2024 tidak mengalami pertumbuhan berarti. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, jumlah penumpang domestik tercatat sebanyak 65.795.924 orang, sedikit menurun dari 65.950.181 orang pada 2023. 

Adapun rekor tertinggi terjadi pada 2018, yakni sebanyak 101.961.268 penumpang, sebelum turun drastis akibat beroperasinya Tol Trans Jawa dan dampak pandemi Covid-19.

Baca Juga: Pasar Tunggu Hasil Negosiasi Tarif Trump, Cek Arah IHSG & Rekomendasi Saham Pekan Ini

“Jadi kalau ditanya apakah ada pertumbuhan? Tidak. Ini stagnan. Tapi maskapai seperti Fly Jaya tidak melihat kondisi jangka pendek, melainkan potensi jangka panjang,” ujar Alvin kepada Kontan, Senin (7/7).

Fly Jaya memulai bisnis dengan pesawat propeller ATR 72-500, yang dinilai Alvin memiliki ceruk pasar tersendiri. Saat ini, hanya sedikit maskapai yang mengoperasikan armada propeller besar, yakni Wings Air dan sebagian kecil oleh Citilink. Wings Air mengoperasikan sekitar 70 pesawat ATR, meski hanya sekitar 30 unit yang aktif. Sementara Citilink hanya mengoperasikan sekitar tiga unit.

“Artinya, masih ada ruang besar yang bisa diisi oleh pemain baru. Ceruk ini nyaris tanpa pesaing,” ungkap Alvin.

Selain potensi rute-rute pendek antar pulau yang efisien dilayani dengan propeller, Alvin juga menyinggung soal tarif batas atas (TBA) yang menguntungkan bagi maskapai dengan pesawat jenis ini. Berdasarkan KM 106/2019, tarif TBA untuk pesawat propeller besar jauh lebih tinggi dibandingkan jet. 

“Misalnya, Citilink menjual tiket Jakarta–YIA (Yogyakarta International Airport) dengan Airbus seharga Rp 900.000. Tapi rute ke Bandara Adisutjipto dengan ATR bisa Rp 1,6 juta,” jelasnya.

Namun demikian, Alvin mengingatkan bahwa tarif tiket domestik saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi dan biaya operasional. Tarif batas atas terakhir kali direvisi pada 2019 dengan asumsi harga avtur Rp 9.500 dan nilai tukar Rp 12.500 per dolar AS. Kini, avtur menyentuh Rp 12.000–13.000 dan kurs sudah di atas Rp 16.000 per dolar AS.

“Semua biaya pesawat naik signifikan, dari sewa, suku cadang, hingga asuransi. Tapi TBA tidak naik. Inilah sebabnya maskapai lebih tertarik buka rute internasional daripada domestik,” ujarnya. 

Ia mencontohkan sejumlah maskapai baru seperti Pelita Air dan Transnusa yang kini agresif menggarap pasar internasional seperti Singapura, Malaysia, hingga Australia.

Menurut Alvin, jika TBA tidak direvisi, maskapai akan terus menghindari rute domestik yang margin keuntungannya tipis. Akibatnya, makin sedikit rute yang dilayani, dan konsumen makin terbatas dalam memilih layanan penerbangan.

“Masyarakat harus sadar bahwa era tiket murah sudah lewat. Bahkan rute domestik Indonesia masih lebih murah dibanding Australia,” katanya. 

Ia menegaskan, harga tiket tidak akan menjadi lebih kompetitif tanpa reformulasi TBA. 

“Kalau TBA direvisi naik, saat ramai harga bisa mahal, tapi saat sepi harga bisa murah. Itulah yang membuat harga tiket lebih fleksibel dan logis secara bisnis,” pungkas Alvin.

Baca Juga: Kehadiran Pabrik Mobil Listrik di Indonesia Berdampak Positif Terhadap Multifinance

Selanjutnya: Emiten Pionir Bisnis Kebab Baba Rafi (RAFI), Digugat PKPU oleh Perusahaan Pinjol

Menarik Dibaca: KAI Layani 3,49 Juta Pelanggan Selama Libur Sekolah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×