kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,40   8,81   0.99%
  • EMAS1.332.000 0,60%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gonta Ganti Kebijakan DMO Sawit Dinilai Berisiko dan Sulit Dijalankan


Kamis, 08 September 2022 / 14:37 WIB
Gonta Ganti Kebijakan DMO Sawit Dinilai Berisiko dan Sulit Dijalankan


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Gonta-ganti kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) Crude Palm Oil (CPO) dinilai berisiko dan sulit dijalankan.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, mengatakan, cepatnya perubahan kebijakan pasti menghambat dan mengurangi daya saing industri kelapa sawit. 

Sebagai negara produsen sekaligus konsumen terbesar CPO di dunia, pemerintah Indonesia bersama berbagai asosiasi sawit pada tahun 2011 telah membuat grand policy industri sawit dengan mekanisme kombinasi antara pungutan ekspor (PE) dan bea keluar (BK), hilirisasi dan peningkatan penggunaan konsumsi domestik baik untuk energi maupun makanan dan oleokimia.

Baca Juga: Sidang Kasus Izin Ekspor CPO, Eks Dirjen di Kemendag Tepis Lakukan Korupsi

"Kombinasi  kebijakan ini bagus sekali untuk mewujudkan kepentingan Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia dan sekaligus juga sebagai konsumen terbesar. Tujuan utamanya, untuk menyeimbangkan ekspor dan kepentingan domestik," kata Tungkot dalam keterangannya, Kamis (8/9).

Menurut Tungkot, dengan mekanisme ini mudah diterapkan, jika harga CPO di pasar global tinggi tinggal menaikkan PE dan BK agar tidak semua produksi CPO terserap untuk pasar ekspor. Kemudian saat harga rendah, pemerintah tinggal menurunkan PE dengan tujuan meningkatkan serapan dalam negeri.

Hal ini berbeda dengan kebijakan DMO dan DPO, yang sering menimbulkan masalah. Apalagi gonta-ganti kebijakan justru menimbulkan berbagai persoalan.

Kata Tungkot, DMO dan DPO mirip kebijakan jaman jahiliah, selain berisiko mekanisme ini juga sulit dijalankan. Namun yang menjadi persoalan, ketika harga CPO dunia naik signifikan sejak januari 2022, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru menggunakan jurus ini.

Baca Juga: Ajukan Eksepsi, Bos Wilmar Sebut Jadi Korban Inkonsistensi Kebijakan Ekspor CPO

"Pemerintah telah keluar jalur, seharusnya ketika harga internasional naik ya tinggal naikan saja PE -nya, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang di dalam negeri. Dan kalau sudah stabil baru diturunkan pelan-pelan," katanya. 

Selain itu, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO akan menimbulkan ketidakpastian berusaha karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya.  "Kondisi yang sudah baik tidak dipertahankan. Mendag waktu itu tabrak saja semuanya. Mendag membuat kebijakan terus dicabut, dibuat lagi dan kemudian dicabut kembali. Dan klimaksnya ada larangan ekspor. Industri sawit serasa runtuh," jelas Tungkot. 

Gonta-ganti kebijakan, kata Tungkot, selain menimbulkan ketidakpastian berusaha juga membuat risiko rawan akan pelanggaran. 

"Yang benar dalam kebijakan yang lalu bisa menjadi salah di kebijakan berikutnya. Itulah, maka pengusaha  menjadi korban dalam kebijakan tersebut. Kita melihat jika ada kasus hukum yang menyimpang, kita hormati proses hukumnya. Kedepan jangan sampai kebijakan yang buat justru membawa korban," tegasnya.

Sementara itu, Praktisi hukum Hotman Sitorus, mengkritisi dugaan korupsi karena kelangkaan minyak goreng. Menurutnya dalam kasus ini tidak ada suap dan tidak ada pula pengadaan barang dan jasa namun disebut terjadi korupsi. 

Hotman menjelaskan, ada tiga unsur korupsi. Pertama adalah pebuatan melawan hukum,kedua, kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara, dan ketiga memperkaya diri sendiri atau orang lain. 

Baca Juga: Bongkar Pasang Kebijakan Dinilai Lahirkan Kisruh Minyak Goreng

"Tanpa ada perbuatan melawan hukum, tanpa ada kerugian keuangan negara, dan tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain maka tidak ada korupsi. Ketiga unsur haruslah diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan," jelas Hotman. 

Hotman berpandangan dari analisis surat dakwaan Jaksa pada persidangan korupsi kelangkaan minyak goreng diatas, ketiga unsur tersebut kabur. 

Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara satu unsur dengan unsur lain. Tidak terdapat hubungan perbuatan melawan hukum, merugikan keuangan negara.  Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian keuangan negara dengan memperkaya perusahaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×