kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45868,36   6,69   0.78%
  • EMAS1.361.000 -0,51%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hanya tambah satu di 2019, ESDM targetkan empat smelter baru di 2020


Minggu, 22 Desember 2019 / 19:54 WIB
Hanya tambah satu di 2019, ESDM targetkan empat smelter baru di 2020
ILUSTRASI. Smelting Gresik


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) belum juga melesat. Penambahan smelter masih tersendat. Hingga akhir tahun ini, diproyeksikan hanya ada satu tambahan smelter baru yang beroperasi.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengungkapkan, satu tambahan smelter yang beroperasi di tahun ini adalah smelter nikel milik PT Wanatiara Persada.

Smelter yang mengolah bijih nikel menjadi feronikel ini berlokasi di Maluku Utara, dan sudah beroperasi sejak November 2019.

"Jadi yang benar-benar sudah commissioning di 2019 hanya satu, dari Wanatiara saja," kata Yunus saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (22/12).

Baca Juga: Tahun 2020, underground Freeport Indonesia hasilkan 96.000 ton bijih tembaga dan emas

Tadinya, sambung Yunus, Kementerian ESDM mengharapkan ada tambahan tiga smelter baru yang bisa beroperasi di tahun ini. Namun, dua smelter lainnya harus mengalami pergeseran jadwal operasi ke tahun 2020.

Kedua smelter yang jadwal operasionalnya diundur itu ialah smelter feronikel milik PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Halmahera Timur, Maluku Utara, serta smelter timbal bullion PT Kapuas Prima Citra di Kalimantan Tengah.

Menurut Yunus, sejatinya pembangunan kedua smelter tersebut sudah rampung. Namun, smelter feronikel Antam masih terkendala pasokan listrik sehingga belum bisa beroperasi, sedangkan smelter timbal bullion Kapuas Prima masih menunggu Surat Keputusan (SK) pelepasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Jadi Antam belum selesai karena persoalan power plant. Sedangkan Kapuas Prima terhalang izin kehutanan belum selesai," jelas Yunus.

Baca Juga: Kementerian ESDM usulkan perusahaan smelter jadi pelanggan premium PLN

Dengan mundurnya jadwal operasi kedua smelter tersebut, Yunus pun menargetkan akan ada empat smelter yang bisa beroperasi pada tahun 2020 mendatang.

Keempat smelter tersebut ialah: (1) smelter nikel Antam di Halmahera Timur, Maluku Utara dengan kapasitas produksi tahunan sebesar 64.655 ton Feronikel; (2) smelter timbal PT Kapuas Prima Citra di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dengan kapasitas produksi 22.924 ton timbal bullion;

(3) smelter nikel PT Arthabumi Sentra Industri di Morowali, Sulawesi Tengah yang akan menghasilkan 72.965 ton Nikel Pig Iron; dan (4) smelter mangan yang dibangun oleh PT Gulf Mangan Grup di Kupang, Nusa Tenggara Timur yang akan memproduksi 40.379 ton ferromangan.

Target 52 smelter pada 2022

Adapun, dengan bertambahnya satu smelter pada tahun ini, total smelter yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) dari Kementerian ESDM baru berjumlah 17 smelter.

Jumlah itu masih jauh dari rencana 68 smelter yang bisa beroperasi pada tahun 2022 mendatang. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, masih ada 13 smelter yang progres pembangunannya berada di angka 40%-90%. Sedangkan progres pembangunan 37 smelter lainnya masih di bawah 40%.

Dengan kondisi seperti itu, Yunus pun memproyeksikan, total smelter yang bisa beroperasi pada tahun 2022 akan lebih mini dari rencana awal.

Baca Juga: Pemerintah bantu fasilitasi pendanaan smelter, ini tanggapan pengamat dan pengusaha

Yunus menjelaskan, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan pihaknya, target realistis yang bisa dicapai tidak akan mencapai 68 smelter, melainkan hanya akan ada 52 smelter yang beroperasi pada tahun 2022.

Yunus menyebut, hasil evaluasi tersebut telah mempertimbangkan kesungguhan dan progres pembangunan smelter yang reratanya masih belum melampaui 10%. Selain itu, juga karena terganjal kesiapan pendanaan.

"Karena ada yang di bawah 10%, atau yang di atas 10% tapi dia (perusahaan) nggak serius, dan mau berhenti. Itu berdasarkan evaluasi kita," ungkap Yunus.

Sebab, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018, tahapan pembangunan smelter hingga akhir tahun 2019 paling tidak harus sudah melakukan pengadaan alat-alat pabrik dan memulai konstruksi pabrik. Sementara dari sisi pendanaan harus sudah mencapai Financial Close.

Baca Juga: PLN perkirakan potensi kebutuhan listrik di industri smelter Sulawesi capai 4.440 MVA

Sebagai informasi, dari total 52 smelter yang ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2022 itu, jumlah terbanyak diisi oleh smelter nikel dengan jumlah 29.

Lalu ada 9 smelter bauksit, 4 smelter besi, 4 smelter tembaga, 2 smelter mangan, dan 4 smelter seng & timbal. Dari 52 smelter itu, total investasi yang ditanamkan mencapai US$ 20,32 miliar. "Sebelum Januari 2022 kita targetkan sudah jadi 52 (smelter)," ujar Yunus.

Lebih lanjut, Yunus mengklaim bahwa dengan jumlah 52 smelter pun, hilirisasi tambang mineral dapat berjalan. Dengan 52 smelter, kata Yunus, sudah cukup untuk menyediakan bahan baku bagi industri.

Namun tantangannya, ialah bagaimana menciptakan industri lanjutan agar bisa menyerap bahan baku dari smelter untuk diolah menjadi produk jadi.

"52 (smelter) itu sudah sangat mencukup untuk menyediakan bahan baku industri. Tantangannya bagi kita bagaimana industri menyerap menjadi final produk," ungkap Yunus.

Baca Juga: Pemerintah siap turun tangan fasilitasi akses pendanaan untuk pembangunan smelter

Yunus sebelumnya memberikan gambaran bagaimana produk dari smelter belum mampu diolah lebih lanjut menjadi barang jadi oleh industri dalam negeri.

Sebagai contoh, di komoditas tembaga, misalnya. Kapasitas output dari dua smelter eksisting menghasilkan produksi 325.000 ton katoda tembaga per tahun.

Namun, kebutuhan riil yang dapat diserap oleh industri domestik hanya sebesar 218.000 ton per tahun. "Jadi masih ada lebih 107.000 ton per tahun, karena nggak ada yang menyerap, ini lah yang harus dipikirkan," ujar Yunus.

Begitu juga di komoditas nikel. Dalam setahun, kapasitas output dari 11 smelter yang saat ini telah beroperasi, mampu menghasilkan logam nikel sebanyak 319.220 ton Ni. Namun, industri stainless steel domestik baru mampu menyerap 30.000 ton Ni.

"Produk-produk mineral sudah sampai sini, yang harusnya dilakukan adalah menjadikan logam-logam tadi menjadi industri barang jadi. Inilah tantangan besarnya yang harus kita pikirkan. Industri untuk menjadikan barang jadi untuk menyerap produk intermediete harus diperbanyak," kata Yunus.

Baca Juga: Dukung infrastruktur listrik smelter, PLN siap kena penalti jika dinilai tidak siap

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arief. Menurutnya, fokus hilirisasi pemerintah saat ini harus diarahkan pada dua hal.

Pertama, untuk memastikan target pembangunan smelter dari Kementerian ESDM bisa tercapai dan di saat yang bersamaan Kementerian Perindustrian bisa mendorong hilirisasi hingga ke produk jadi.

"Persoalannya bagaimana smelter ini bisa didorong sesuai rencana dan juga smelter ke lebih hilir juga didorong oleh Kementerian Perindustrian," ungkap Irwandy.

Baca Juga: Ganti Direksi, Antam (ANTM) Evaluasi Kerja Sama Bisnis dengan China

Sementara itu, untuk memastikan target pembangunan smelter bisa tercapai, Direktur Center for Indonesia Resources Strategic Studies (CIRRUS) Budi Santoso menekankan pentingnya peran pemerintah untuk tidak hanya memberikan sanksi kepada perusahaan smelter yang pembangunannya tidak sesuai target.

Namun juga perlu meringankan kesulitan perusahaan agar progresnya bisa terjaga sesuai rencana. Khususnya terkait dengan perizinan dan akses pendanaan untuk mempertemukan dengan investor atau lembaga pembiayaan.

"Saya menyarankan pemerintah lebih fokus pada kesulitan yang dihadapi, bukan malah menambah beban. Apalagi saat ini masih banyak yang memiliki permasalahan izin dan keuangan. Itu yang akan menunjukkan target tersebut tercapai atau tidak," tandas Budi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×