Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggota holding pertambangan, MIND ID, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) mengungkap adanya potensi harga komoditas pertambangan yang fluktuatif hingga tutup tahun.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Arianto S. Rudjito mengungkap prediksi mengenai harga komoditas dipengaruhi oleh berbagai macam faktor eksternal.
"Kondisi pasar global sangat mempengaruhi pergerakan harga komoditas dunia," ungkap Arianto, dalam agenda Publik Ekspose, Kamis (11/09/2025).
Arianto kemudian menjelaskan mengenai prospek dari tiga komoditas tambang yang saat ini digarap oleh Antam: nikel, emas dan bauksit.
Harga Nikel Tertekan Kelebihan Pasokan
Arianto menjelaskan, saat ini untuk komoditas nikel dunia tengah mengalami kondisi kelebihan pasokan atau oversupply sehingga terdapat tekanan harga LME nikel.
"Kalau kita lihat dari segmen sektor nikel, acuannya adalah harga London Metal Exchange (LME). Nikel itu sangat terpengaruhi dari supply-demand nikel di dunia," kata dia.
"Kondisi oversupply ini terjadi karena hampir lebih dari 60% pasokan atau serapan nikel dunia itu di Cina dan sekitar 60% juga di-supply dari Indonesia," tambahnya.
Saat ini pertumbuhan sektor nikel sangat didorong dari pertumbuhan produksi stainless steel khususnya pertumbuhan di China yang menggunakan pasokan nikel dunia hampir 70%.
Baca Juga: Dari Efisiensi hingga Hilirisasi, Analis Beberkan Prospek Antam (ANTM) ke Depan
"Sedangkan 30% lainnya itu masih digunakan untuk konsumsi industri kendaraan listrik (EV) sebagai bahan baku untuk baterainya," ungkapnya.
Konsumsi nikel ini ungkap Arianto, berasal dari dua segmen nikel yang berbeda.
Stainless steel menggunakan nikel kelas dua seperti Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel. Sedangkan baterai EV, menggunakan nikel kelas satu, berupa Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan nickel hydroxide (NiOH).
Dia menambahkan, oversupply di pasar nikel dunia akan terus berlanjut dan akan termoderasi secara gradual sampai dengan tahun 2030.
"Jadi tekanan harga itu kami expect akan berlanjut sampai tahun 2030 dan kemudian harapannya akan membaik, seterusnya," jelasnya.
Meski begitu, permintaan nikel untuk EV menurutnya akan lebih meningka dibandingkan dengan permintaan nikel untuk stainless steel.
"Tingkat permintaan (nikel untuk stainless steel) ini di single digit, di bawah 5 persen. Namun peningkatan permintaan nikel untuk EV battery cukup tinggi, di double digit," ungkapnya.
Dalam kesimpulan, untuk nikel harga global tahun ini menurut Antam masih berada pada kisaran US$ 15.000 per ton. Adapun, jika mengutip pada situs LME, per 11 September 2025 harga nikel berjangka saat ini adalah sekitar US$ 15.187,38 per ton.
Harga Komoditas Emas Capai Rekor Tertinggi
Hampir mirip dengan nikel, komoditas emas dirasa akan cukup fluktuatif. Khususnya pada 2 tahun terakhir karena terpengaruhi dari ketidakstabilan ekonomi maupun geopolitik global.
"Saya rasa sifat emas sebagai safe haven ini tentunya mendorong permintaan atas komoditas emas di saat-saat ketidakstabilan," ungkap dia.
Peningkatan emas global ungkap Arianto, juga terlihat dari peningkatan permintaan atas cadangan emas dari bank-bank sentral dunia, terutama China.
"Pembelian emas dari sentral bank Cina meningkat 2 persen di tahun ini dibandingkan tahun lalu," kata dia.
Baca Juga: Aneka Tambang (ANTM) Berusaha Perkuat Rantai Pasok Emas Dalam Negeri
Sebagai catatan, baru-baru ini, tepatnya tanggal 9 September 2025, harga emas dunia juga telah mencapai rekor tertinggi dalam sejarah yaitu US$ 3.650 per troy ounce.
"Fluktuasinya cukup tinggi namun rentangnya, khususnya untuk tahun ini akan berada di atas US$ 3.000 per ons troi," tambahnya.
Dinamika yang berbeda berlaku untuk komoditas bauksit. Sebagai bahan baku utama dari aluminium, harga bauksit dipatok berdasarkan London Metal Exchange (LME) aluminium.
"Supply bauksit dunia itu sangat terkonsentrasi sekitar 20% dari Republik Guinea yang terletak di Afrika. Dimana, stabilitas dari produksi negara tersebut bisa mempengaruhi kejolak supply dunia atas bauksit," tutur Arianto.
Di sisi lain, serapan hasil olahan bauksit dalam bentuk alumina maupun aluminium, sangat ini masih tergantung dari produksi smelting aluminium dengan lebih lebih dari 50% aluminium diproduksi di China.
"Ini sangat bergantung kepada prospek pertumbuhan perekonomian China tentunya," ungkap dia.
Meski begitu, Antam memprediksi harga aluminium dikisaran US$ 2.500 per ton, atau sesuai dengan perhitungan dari konsultan global, Wood Mackenzie (WoodMac).
"Sesuai dengan publikasi dari WoodMAC itu di kisaran US$ 2.500 dolar. Ini terrefleksikan kepada harga-harga turunan produknya aluminium, alumina dan juga bauksit," jelasnya.
Selanjutnya: Kemendag Menindak Impor Pakaian Bekas Ilegal Senilai Rp 120,65 Miliar Sepanjang 2025
Menarik Dibaca: Lewat Program More Than Worth, Starbucks Siap Bawa Pelanggan Beruntung ke Tokyo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News