Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga batubara yang tercermin dalam Harga Batubara Acuan (HBA) masih tiarap. Terakhir, HBA September berada di angka US$ 65,79 per ton atau turun 9,4% dibandingkan HBA Agustus yang sebesar US$ 72,67 per ton.
Penurunan harga tersebut berdampak terhadap kinerja perusahaan batubara, termasuk dalam efisiensi pada alokasi kegiatan eksplorasi. Hal itu diakui oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia.
Baca Juga: Dilema produsen batubara penuhi 25% DMO versus daya serap yang minim
Menurut Hendra, kegiatan eksplorasi dalam pertambangan batubara memang sangat ditentukan faktor harga. "Di bisnis komoditas ini kan pasti sangat tergantung harga. Harga turun pasti (eksplorasi) berkurang. Sejak sebelum ini pun eksplorasi kita itu kurang," kata Hendra ke Kontan.co.id, Kamis (12/9).
Hendra bilang, kegiatan eksplorasi memiliki biaya dan risiko yang tinggi. Oleh sebab itu, alokasi dana untuk eksplorasi pun sangat tergantung dengan proyeksi harga batubara ke depan. "Karena risiko eksplorasi besar sekali, biaya besar. Jadi mereka melihat perkembangan harga, bagaimana proyeksi ke depan," terang Hendra.
Padahal, kegiatan eksplorasi sangat diperlukan untuk menambah cadangan atau memperpanjang umur tambang. "Kalau nggak eksplorasi cadangan ya nggak nambah," sambungnya.
Namun, dengan kondisi harga dan pasar batubara saat ini, Hendra mengatakan perusahaan batubara akan lebih memilih untuk melakukan efisiensi. Salah satunya dengan mengurangi striping rasio.
Baca Juga: Kementerian ESDM Mengkaji Revisi Harga Batubara DMO
Dengan pengurangan striping ratio, Hendra menyebut bahwa jumlah cadangan yang tertambang akan berkurang. "Makin besar rasionya, makin banyak cadangannya. Biaya pengupasan memang menjadi komponen terbesar dari biaya kontraktor," terang Hendra.
Lebih lanjut, Ketua Indonesia Mining and Energy Forum Singgih Widagdo menyebut bahwa eksplorasi juga perlu dilakukan untuk meningkatkan valuasi perusahaan. Namun, di tengah kondisi harga saat ini, cukup beralasan jika perusahaan mengurangi kegiatan eksplorasi.
Apalagi, dengan harga sekarang, Singgih mengatakan harga jual sudah mendekati ongkos produksi di pertambangan. "Bahkan untuk kalori rendah dibawah at mining cost," katanya.
Dengan kondisi itu, tak heran jika perusahaan melakukan efisiensi. Terlebih, proyeksi permintaan batubara tidak bertumbuh. "Dengan harga rendah, maka perusahaan harus melakukan efisiensi, baik mengurangi biaya produksi atau mengurangi budget ekplorasi," imbuh Singgih.
Baca Juga: Panas lagi, PLN & produsen batubara kembali berseteru soal harga patokan DMO
Dalam hal ini, Singgih pun menyoroti peran pemerintah. Sebab, Singgih menekankan bahwa eksplorasi juga menjadi kepentingan negara dalam memperjelas dan memperbesar jumlah cadangan. "Jadi life-time pemanfaatan batubara lebih panjang. Security coal supply lebih terjamin," tambah Singgih.
Menurut Singgih, di tengah kondisi saat ini, insentif diperlukan, atau dengan melakukan terobosan dalam penetapan royalti. Singgih berpandangan, royalty semestinya bukan dibayar dalam bentuk presentasi absolut, melainkan tergantung pada pergerakan harga batubara.
"Jangan sampai dengan harga yang rendah lantas perusahaan juga melakukan efisiensi pada pengurangan ratio overburden yang ujungnya negara dirugikan dengan turunnya cadangan," jelas Singgih.
Baca Juga: Penurunan harga batubara berpotensi menekan PNBP
Meski tak merinci khusus di sektor batubara, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengakui tingkat eksplorasi di pertambangan minerba masih minim.
Ia memaparkan, investasi yang dibelanjakan untuk eksplorasi pada tahun ini sebesar US$ 274 juta atau hanya sekitar 4% dari total investasi di sektor minerba, yang pada tahun 2019 ditargetkan mencapai US$ 6,17 miliar. "Kalau persentase memang kecil, tapi dari sisi jumlah itu naik setiap tahun," kata Bambang beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Harga batubara di bawah US$ 70 per ton, harga DMO ke pembangkit direvisi?
Bambang mengungkapkan, pada tahun 2016, investasi untuk eksplorasi hanya sebesar US$ 65 juta atau 1% dari total investasi minerba di tahun yang sama. Pada tahun 2017, nilai dana yang digelontorkan untuk eksplorasi naik menjadi US$ 115 juta atau 2% dari total investasi tahunan.
Setahun berselang, secara persentase investasi eksplorasi stagnan di angka 2%. Namun besarannya naik menjadi US$ 146 juta. Meski demikian, Bambang mengakui bahwa dana yang ditujukan untuk kegiatan eksplorasi di Indonesia masih tergolong kecil jika dibandingkan secara global.
Bambang bilang, besaran investasi dan dana eksplorasi akan sangat ditentukan oleh rencana kerja perusahaan, serta harga komoditas. "Semua itu berbanding lurus dengan harga. Kalau harga bagus, ya bisa banyak (alokasi dana untuk investasi dan eksplorasi)," kata Bambang.
Baca Juga: Sejumlah emiten rambah bisnis batubara kokas
Terkait dengan pemberian insentif untuk eksplorasi, Bambang enggan berkomentar. Ia malah mengatakan bahwa pihaknya telah memberikan kemudahan perizinan bagi kegiatan eksplorasi. "Kita berikan pelayanan cepat, izin disederhanakan, itu sudah kita lakukan," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News