kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Hasil Kajian IESR: Ada 12 PLTU yang Bisa Dipensiunkan pada 2022-2023, Ini Daftarnya


Selasa, 11 Oktober 2022 / 16:19 WIB
Hasil Kajian IESR: Ada 12 PLTU yang Bisa Dipensiunkan pada 2022-2023, Ini Daftarnya
ILUSTRASI. Menurut kajian IESR, dalam waktu 2022-2023 terdapat 12 PLTU yang terdiri dari 30 unit dengan total 4,5 GW yang dapat dipensiunkan dini.


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan hasil kajian yang dilaksankan Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan University of Maryland (UMD) menemukan bahwa dalam waktu dekat atau 2022-2023 terdapat 12 PLTU yang terdiri dari 30 unit dengan total 4,5 GW yang dapat dipensiunkan dini.  

Sedikit informasi, kajian ini mengulas asesmen kebutuhan finansial untuk rencana penghentian operasi PLTU yang dipercepat dan berkeadilan di Indonesia. Kajian kedua adalah kajian tekno ekonomis operasi fleksibel pada PLTU. 

Raditya Yudha Wiranegara, Senior Researcher IESR menjelaskan terdapat 12 PLTU yang diidentifikasi sebagai low hanging fruits (LHF) karena secara teknis, ekonomi, dan dampak lingkungan sangat buruk. 

Baca Juga: Dukung Pemensiunan PLTU Batubara, PLN Lakukan Banyak Kajian

“Jadi semestinya sudah bisa dipensiunkan segera,” jelasnya dalam acara Indonesia Sustainable Energy Week 2022, Selasa (11/10). 

Melansir materi paparannya, 12 PLTU yang dimaksud oleh Raditya ialah sebagai berikut: 

  1. Bangka Baru di Bangka-Belitung dengan kapasitas 60 MW (subcritical)
  2. Banten Suralaya di Banten dengan kapasitas 1.600 MW (subcritical)
  3. Merak di Banten dengan Kapasitas 120 MW (subcritical) 
  4. Cilacap Sumber di Jawa Tengah dengan kapasitas 600 MW (subcritical) 
  5. PLN Paiton di Jawa Timur dengan kapasitas 800 MW (subcritical)
  6. Tarahan di Lampung dengan kapasitas 100 MW (subcritical)
  7. Asam-Asam di Kalimantan Selatan dengan kapastas 260 MW (subcritical)
  8. Tabalog di Kalimantan Selatan dengan kapasitas 200 MW (subcritical)
  9. Tabalong Wisesa di Kalimantan Selatan dengan kapasitas 60 MW (circulating fluidized bed (CFB) 
  10. Bukit Asam Muara Enim di Sumatera Selatan dengan kapasitas 260 MW (subcritical)
  11. Cikarang Babelan di Jawa Barat dengan kapasitas 280 MW (subcritical)
  12. Ombilin di Sumatra Barat dengan kapasitas 200 MW (subcritical) 

Kajian ini juga menganalisis cost and benefit dari pemensiunan dini PLTU. Hasilnya, benefit yang bisa diraih dari skenario pensiun PLTU yang lebih cepat ini sekitar 2 kali sampai 4 kali lebih besar dari cost yang dikeluarkan untuk memensiunkan PLTU tersebut.  

“Hasil yang didapatkan lainnya, selain avoided health cost itu kita mendapati bahwa percepatan pemensiunan PLTU bisa menghindarkan kematian. Jika ditotal  kematian yang terhindarkan 168.000 jiwa sampai 2050. Total penghematan biaya kesehatan yang bisa didapat US$ 60 miliar hingga 2050,” terangnya. 

Dari hasil kajian tersebut, biaya pensiun diperkirakan mencapai US$ 4,6 miliar hingga 2030 dan US$ 27,5 miliar hingga 2050. Sekitar 2/3 dari biaya terkait dengan pembangkit IPP dan 1/3 dengan pembangkit PLN. Biaya dimuka yang besar untuk pensiun memerlukan dukungan internasional yang substansial, meskipun manfaat yang lebih besar diperoleh dalam jangka panjang.

Selain memaparkan mengenai biaya pensiun pihaknya juga menganalisis biaya yang diperlukan untuk mengganti pembangkit-pembangkit yang dipensiunkan dengan energi terbarukan terutama tenaga surya. 

Baca Juga: Berikut Sejumlah Kriteria PLTU yang akan Dipensiunkan Dini

Untuk memenuhi permintaan yang meningkat, investasi yang diperlukan untuk meningkatkan energi terbarukan dan transmisi mencapai US$ 1,2 triliun hingga 2050. Adapun bantuan pendanaan dari internasional dapat membantu mengisi kesenjangan tersebut. 

Sebagai informasi tambahan, skup dari atau cakupan studi ini dibatasi hanya pada PLTU IPP maupun PLN yang terkoneksi ke jaringan nasional milik PLN. Total PLTU yang menjadi bahan kajian sekitar 72 unit dengan kapasitas total 43,4 GW dan merupakan pembangkit yang sudah ada dan direncanakan dalam pipeline RUPLT. Dalam studi ini IESR dan UMD juga membatasi minimum guarantee lifetime selama 20 tahun. 

Metodologi studi ini pertama-tama menggunakan Global Change Analysis Model(GCAM) sebuah model integrated assessment yang menganalisis korelasi antara ekonomi dunia dengan sistem-sistem seperti air, lahan, penggunaan lahan, iklim, dan juga energi. 

Proses selanjutnya ialah perankingan dengan memasukkan tiga parameter dari sisi teknikal profitability dan dampak ke lingkungan. Proses ini dilakukan dengan scoring untuk mendapatkan parameternya dan dikombinasikan. 

Ketiga, pihaknya memperkirakan besarnya kebutuhan pembiayaan dengan menilai secara sistematis manfaat dan biaya penerapan transisi energi batubara ke energi bersih yang adil dan cepat. 

Kerangka kerja dikembangkan untuk mengevaluasi hasil ekonomi, sosial, dan lingkungan yang secara langsung dan tidak langsung terkait dengan fase percepatan pembangkit listrik tenaga batubara. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×