Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan larangan ekspor mineral harus terintegrasi dengan kebijakan pemberian jumlah izin eksplorasi. Hal ini harus paralel dengan tuntutan dan kebutuhan industri. Persetujuan produksi dan pertumbuhan smelter tentu terkait dengan konteks pasar domestik dan pasar ekspor.
Dengan terintegrasi dari hulu ke hilir, investasi di sisi eksplorasi (hulu) akan mempertemukan dengan investasi dan jumlah smelter atau volume mineral serta jenis mineral logam yang dibutuhkan oleh industri (hilir).
“Dan kebijakan terintegrasi dari hulu dan hilir dipastikan tidak akan menimbulkan kondisi oversupply. Pasalnya jika pasokannya berlebih dipastikan akan merugikan perusahaan tambang yang bergerak di sisi hulu,” kata Ketua Indonesia Mining & Energi Forum (IMEF) Singgih Widagdo kepada Kontan.co.id, Minggu (16/10).
Baca Juga: Indonesia Diprediksi Kelebihan Pasokan Katoda Tembaga di 2025, Ini Kata Menteri ESDM
Namun, Singgih menyebut, dengan kondisi yang telah terjadi di Indonesia, khususnya keterlambatan pembangunan sebagain smelter dan juga rencana pemerintah yang akan tetap melakukan pelarangan ekspor, maka arah kebijakan harus terus mewaspadai ancaman perlambatan proses ekonomi berbasis nilai tambah.
Menurut dia, penegakan denda administratif atas keterlambatan pembangunan smelter dapat saja dilakukan. Namun yang terpenting ialah pengawasan dan evaluasi atas milestone yang telah dibuat dan ditetapkan pemerintah saat ini.
“Sikap tegas dalam mengimplementasi kebijakan jangka panjang yang telah dibuat harus dilakukan, mengingat optimalisasi nilai manfaat Sumber Daya Alam (SDA) bukan saja dalam mengoptimalkan sisi investor, namun juga nilai manfaat SDA yang notabene dimiliki oleh rakyat Indonesia,” terangnya.
Saat ini, cadangan terbukti bijih (bukan logam) berbagai komoditas tambang seperti nikel tercatat sebanyak 1,499 miliar ton, tembaga 639,206 juta ton, bauksit 927,781 juta ton, timah 1,253 milyar ton. Jika dibandingkan negara lain, tentu cadangan komoditas-komoditas ini menjadi kekuatan dan fokus Indonesia dalam mengelola SDA khususnya dengan kemajuan teknologi yang telah berkembang.
Dengan kemajuan teknologi yang saat ini sudah ada dan terbukanya ruang berbagai investasi (teknologi dan keuangan), arah yang harus dibangun pemerintah bukan lagi sekadar ekspor bahan mentah, melainkan ekonomi berbasis nilai tambah, khususnya fokus pada hilirisasi.
Bahkan, arah ke depan bukan hanya sampai batas setengah jadi, namun harus terus diupayakan sampai produksi jadi, seperti stainless steel, battery pack dan sampai mobil/bus listrik.
Menurutnya, dengan berbasis nilai tambah dan optimum pemanfaatan SDA mineral, maka arah kebijakan bukan lantas pada penguatan sisi hilirnya saja, namun harus sejak dari hulunya yang kadang hanya beberapa perusahaan besar yang mampu melakukan eksplorasi mineral.
Baca Juga: Hilirisasi Mineral Cukup Berhasil Tapi Serapan di Dalam Negeri Masih Minim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News