Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah makin melemah. Rabu (15/1), rupiah melemah 0,34% ke level Rp 16.325 per dolar AS.
Pelemahan rupiah menambah tekanan bagi industri alat kesehatan di Indonesia karena banyak komponen bergantung pada impor.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Imam Subagyo mengatakan, industri alat kesehatan Indonesia memang semakin meningkatkan kemandirian. Beberapa produk alat kesehatan, seperti sarung tangan karet, sudah dapat diproduksi secara lokal karena bahan bakunya yang tersedia di dalam negeri, seperti karet.
Namun, di sisi lain, produk dengan komponen berbahan stainless steel atau bahan lainnya masih sangat bergantung pada impor. Sebagai contoh, hospital furniture dan beberapa produk medis lainnya belum sepenuhnya diproduksi di dalam negeri.
"Produk alat kesehatan itu sangat kompleks, ada yang bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri, tetapi masih ada yang harus diimpor, seperti stainless steel dan beberapa komponen teknis lainnya," kata Imam saat ditemui di Jakarta, Rabu (15/1).
Baca Juga: Rupiah Melemah, Intiland Development (DILD) Terus Amati Perkembangan
Di tengah melemahnya rupiah, ia berharap kebijakan pemerintah yang mendukung industri alat kesehatan dalam negeri, seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 2 Tahun 2022, tetap dilanjutkan.
Sisi positif pelemahan rupiah, beberapa industri alat kesehatan yang berorientasi ekspor bisa mendapatkan keuntungan. Menurut Imam, sekitar setengah dari anggota Aspaki berfokus pada pasar ekspor.
Untuk industri alat kesehatan yang didominasi ekspor, penguatan dolar justru menguntungkan karena meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Produk alat kesehatan Indonesia bahkan sudah dipasarkan ke lebih dari 140 negara.
Sebaliknya, untuk industri yang bergantung pada pasar domestik dan memiliki ketergantungan pada impor komponen, pelemahan rupiah jelas menjadi tantangan.
Sebagai contoh, PT Prodia Widyahusada Tbk. (PRDA), salah satu pemain besar di industri layanan kesehatan menyebut, lebih dari 90% alat kesehatan yang digunakan dalam operasional mereka masih diimpor.
Direktur Utama Prodia, Dewi Muliaty mengatakan, meskipun dalam kontrak dengan vendor sudah ada kesepakatan mengenai harga tetap untuk lima tahun, kenaikan kurs dapat memengaruhi biaya operasional perusahaan.
Baca Juga: Rupiah Melemah 0,34% ke Rp 16.326 per Dolar AS pada Rabu (15/1), Terlemah di Asia
Dewi menambahkan, jika pelemahan rupiah berlanjut, Prodia akan melakukan negosiasi ulang dengan vendor. "Jika negosiasi gagal, kami mungkin akan mencari alternatif di pasar global," ujarnya.
Meskipun Prodia sudah memiliki fasilitas produksi dalam negeri, seperti pabrik Prodia Diagnostic Line yang menghasilkan reagen dengan kandungan lokal lebih dari 40%, alat kesehatan berteknologi tinggi masih harus diimpor.
Selanjutnya: Prodia Hadirkan Inovasi Baru dengan Smart Report 2.0 dan Fitur Terbaru Health Plan
Menarik Dibaca: TransNusa Hadirkan Rute Denpasar-Perth, Penjualan Tiket Mulai Hari Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News