kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,69   4,34   0.47%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inalum batal mengajukan pinjaman ke bank BUMN


Selasa, 24 Juli 2018 / 11:25 WIB
Inalum batal mengajukan pinjaman ke bank BUMN


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Holding BUMN Pertambangan, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), masih mencari opsi pendanaan untuk membayar 51% saham divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) senilai US$ 3,85 miliar. Inalum memutuskan mencari pinjaman dari bank asing daripada minta bank lokal untuk membiayai aksi korporasi tersebut.

Padahal, Inalum sebelumnya mengklaim sudah mendapatkan komitmen pinjaman senilai US$ 5,2 miliar dari beberapa bank, termasuk perbankan pelat merah.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan awalnya Inalum mengundang bank BUMN untuk mendanai saham divestasi PTFI. Tapi Inalum akhirnya memutuskan hanya mengambil pinjaman dari luar negeri.

Langkah ini ditempuh agar tak menekan kurs rupiah terhadap dollar AS. Sebab, pembayaran divestasi PTFI memakai dollar AS. "BUMN diminta jangan dulu ikut supaya tak menekan neraca pembayaran. Kalau dari luar kan kurs terjaga," jelas Budi, Senin (23/7).

Direktur Keuangan Inalum, Orias Petrus Moedak menambahkan, saat ini, Inalum masih bernegosiasi dengan sejumlah bank. Totalnya ada sekitar 11 bank yang diajak bicara. Dari pembicaraan dengan bank tersebut, Orias berharap Inalum bisa meraih dana dari luar negeri. Bank asing diharapkan menawarkan bunga murah. Kabarnya bank mancanegara menawarkan bunga 5%.

"Siapapun mau masuk, yang penting dananya offshore. Perbankan di luar negeri kan juga punya uang di dalam negeri. Dukungan dana pokoknya dari luar, transaksi dollar AS. Logikanya, akan lebih murah jika saya pinjam dollar AS," jelas Orias.

Kelak, skema pinjaman yang dipakai akan memakai pinjaman sindikasi dari beberapa bank. Dengan begitu, ada satu skema yang sama dan bunga yang sama. Dengan demikian, Orias menegaskan aksi korporasi itu tak akan menggunakan kas internal. Orias pun optimistis transaksi divestasi Freeport bisa selesai Agustus."Diusahakan tak pakai uang sendiri. Kalau punya uang, mending pakai uang sendiri atau pinjam? Ya pinjam," pungkas Orias.

Transaksi yang pelik

Sementara itu, Head of Corporate Communications PT Inalum, Rendi Achmad Witular mengaku pembelian participating interest (PI) Rio Tinto cukup pelik karena beredarnya informasi yang menyebut harga beli PI itu terlalu mahal. Padahal, kata dia, valuasi PI Rio Tinto telah dihitung berdasarkan potensi pendapatan yang akan didapat Inalum dari PTFI. "Secara potensi bisnis, tambang Grasberg sangat besar," kata dia.

Dengan dana US$ 3,85 miliar, Inalum sudah bisa memegang 51% saham PTFI yang masih memiliki potensi besar dari tambang Grasberg. "Kami tidak menghitung cadangan. Cadangan Grassberg US$ 150 miliar, kami bayar US$ 3,85 miliar," ujar Rendi.

 Rendi menyebutkan, berdasarkan proyeksi perhitungan hingga tahun 2041, maka nilai cadangan di tambang Grasberg mencapai sekitar US$ 150 miliar. Dengan potensi tersebut, EBITDA Inalum bisa mencapai sekitar US$ 4 miliar. Sementara laba bersih setelah tahun 2022 bisa di atas US$ 2 miliar. "Kalau keluar dana US$ 3,85 miliar dengan laba bersih US$ 2 miliar, berapa tahun bisa lunasi utangnya?" imbuh dia.

Selain itu, Rendi juga bilang nilai 40% PI Rio Tinto di PTFI jauh lebih murah dibandingkan nilai yang ditawarkan oleh Freeport McMoran untuk menguasai 10% saham PTFI. "Ini jauh lebih murah dibandingkan dulu ditawarkan FCX (Freeport McMoran) US$ 1,6 miliar untuk 10% tanpa penyelesaian Rio Tinto," ungkap Rendi.

Di luar alasan tersebut, Rendi juga menjelaskan Inalum harus menyelesaikan transaksi pembelian 40% PI Rio Tinto di PTFI agar jumlah dividen yang akan diperoleh Inalum tidak berkurang. Hal ini lantaran Rio Tinto dengan 40% PI berhak atas 40% produksi PTFI. Setelah divestasi rampung, maka Rio Tinto tidak akan lagi mendapatkan produksi sesuai kontraknya hingga 2041.

"Tapi jika divestasi belum selesai, maka setelah tahun 2022, sebesar 40% produksi dari tambang Grasberg akan diambil mereka (Rio Tinto). Contohnya tambang Grasberg berproduksi 100 juta ton, maka 40 juta ton langsung diambil Rio Tinto. Jadi bisa dibayangkan apabila (transaksi) tidak diselesaikan, pendapatan negara akan sangat jauh berkurang," kata Rendi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×