kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri Pakan Ternak dan Perunggasan Tertekan Pelemahan Rupiah


Rabu, 12 Oktober 2022 / 17:42 WIB
Industri Pakan Ternak dan Perunggasan Tertekan Pelemahan Rupiah
ILUSTRASI. Mengkhawatirkan, Industri Pakan Ternak dan Perunggasan Tertekan Pelemahan Rupiah.?(KONTAN/Carolus Agus Waluyo)


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi saat ini berdampak pada bisnis pakan ternak dan perunggasan. Pasalnya, melemahnya rupiah membuat harga pakan ternak naik dan harga ayam broiler dan Day Old Chicken (DOC) ikut terkerek.  

Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Desianto B Utomo menjelaskan, pelemahan rupiah terhadap dolar AS akan menyebabkan peningkatan biaya produksi pakan. 

Perlu diketahui, struktur biaya dari pembuatan pakan adalah 85%  ditentukan oleh harga bahan pakannya di mana secara volume bahan baku dari lokal sebesar 65% dan sisanya 35% dari impor. 

“Tapi bahan pakan impor itu kontribusi nilainya mencapai 60% hingga 65% dari total biaya produksi untuk pakan. Jadi pelemahan rupiah terhadap dolar meningkatkan biaya produksi,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (12/10). 

Baca Juga: Prospek Poultry Masih Menantang, Begini Rekomendasi Saham CPIN dari Analis Ini

Desianto memberikan gambaran, harga bungkil kedelai yang berkontribusi pada formula pakan ternak hingga 25% telah mengalami kenaikan harga hingga 15% secara tahunan atau year on year (YoY). Pada Oktober 2022 harga bungkil kedelai sudah menembus Rp 9.000 sedangkan pada Oktober 2021 harganya masih di kisaran Rp 7.600. 

“Harga bungkil kedelai ini berkontribusi sekitar 4% dari biaya produksi pakan,” ujarnya. 

Akibat ini, terjadi penyesuaian harga pakan ke pihak peternak. Desianto menjelaskan, pihak peternak ada yang membeli langsung di pabrik atau membelinya di poultry agent. Harga di kedua channel penjualan ini berbeda. 

Dia memaparkan, di tahun lalu terjadi kenaikan harga pakan ternak sampai 4 kali di mana per kenaikannya sebesar Rp 200 hingga Rp 300 tergantung dari kualitas pakan. 

Desianto menegaskan, sejatinya penetapan harga ini bukan pada tupoksi GPMT karena bisa mengarah pada kartel. GPMT tidak mengatur harga karena ini merupakan kebijakan dari masing-masing anggota atau industri pakan. 

Dijelaskan lebih lanjut, permintaan pakan sangat tergantung dari permintaan industri perunggasan karena hampir 90% produksi pakan yang dihasilkan pabrikan nasional merupakan pakan untuk ayam. 

“Jadi hidup matinya industri pakan sangat tergantung pada industri perunggasan secara nasional,” terangnya. 

Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan), Sugeng Wahyudi menjelaskan sebagian besar atau 70% dari harga pokok produksi ayam dikontribusikan dari pakan ternak. Sedangkan sisanya atau sekitar 30%an dari DOC. 

Saat ini peternak ayam sedang menghadapi sejumlah tantangan, salah satu yang terbesar adalah harga ayam di kandang berada di bawah biaya pokok produksi peternak. 

“Biaya pokok produksi peternak Rp 19.500 sampai dengan Rp 20.000. Sementara harga jual di posisi Rp 16.000, artinya peternak merugi,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (11/10). 

Sejatinya, Sugeng mengatakan produksi unggas atau ayam broiler di dalam negeri lebih dari cukup. Bahkan selama ini Indonesia mengalami kelebihan 15%-17% daging ayam. 

Baca Juga: Begini Cara Badan Pangan Nasional Menstabilkan Harga Telur Ayam

Tertekannya harga ayam ini juga dipengaruhi oleh rembesnya ayam dari perusahaan-perusahaan besar ke pasar tradisional yang merupakan ladang usaha bagi pengusaha ayam mandiri kecil. 

“Yang pasti kondisi peternak saat ini tidak baik. Dalam kondisi merugi. Seharusnya ekspor menjadi solusi, agar tercipta keseimbangan supply-demand,” terangnya. 

Sugeng berpesan, supaya pemerintah harus turun tangan untuk melihat ketimpangan pasar antara pelaku usaha besar dan kecil saat ini. Dia merasa tidak ada perlindungan bagi pelaku usaha mandiri dari pemerintah. 

“Dari tahun ke tahun pelaku peternak terus berkurang. Asosiasinya juga sudah berguguran karena peternaknya tidak ada. Tidak ada insentif bagi pelaku usaha, jadi siapa yang tahan dengan kondisi seperti ini,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×