Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) sebagai holding industri pertambangan telah menandatangi Head of Agreement dengan Freeport McMoran untuk divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 12 Juli 2018. Namun polemik bermunculan setelahnya.
Salah satunya soal harga beli participating interest (PI) milik Rio Tinto yang disebut terlalu mahal. Demi mendapatkan 51% saham PTFI, Inalum memang harus membeli 40% PI milik Rio Tinto yang ada di Freeport Indonesia. Harga belinya mencapai US$ 3,5 miliar.
Head of Corporate Communications Inalum, Rendi Achmad Witular mengaku masalah pembelian PI Rio Tinto memang pelik karena beredarnya informasi yang menyebut harga beli PI tersebut terlalu mahal.
Padahal menurut dia, valuasi PI Rio Tinto telah dihitung berdasarkan potensi pendapatan yang akan didapat oleh Inalum dari PTFI. "Secara potensi bisnis, tambang Grasberg sangat besar. Menurut ahli tambah potensi emasnya sampai 2100 tidak akan habis," kata Rendi pada Senin (23/7).
Dengan dana sebesar US$ 3,85 miliar, Inalum sudah bisa memegang 51% saham PTFI yang masih memiliki potensi besar dari tambang Grasberg. "Kami tidak hitung cadangan. Cadangan Grassberg US$ 150 miliar, kami bayar US$ 3,85 miliar," ujarnya.
Rendi menyebut, berdasarkan proyeksi perhitungan hingga 2041, maka nilai cadangan di tambang Grassberg mencapai sekitar US$ 150 miliar. Dengan potensi tersebut, EBITDA Inalum bisa mencapai sekitar US$ 4 miliar. Sementara laba bersih setelah 2022 itu bisa di atas US$ 2 miliar.
"Kalau keluar US$ 3,85 miliar dengan laba bersih US$ 2 miliar berapa tahun bisa lunasi utangnya?"imbuh Rendi.
Selain itu, Rendi juga bilang nilai 40% PI Rio Tinto di PTFI jauh lebih murah ketimbang nilai yang ditawarkan Freeport McMoran untuk menguasai 10% saham PTFI. "Ini jauh lebih murah dibanding dulu ditawarkan FCX (Freeport McMoran) US$ 1,6 miliar untuk 10% tanpa penyelesaian Rio Tinto,"jelas Rendi.
Di luar alasan tersebut, Rendi juga menjelaskan Inalum harus menyelesaikan pembelian 40% PI Rio Tinto di PTFI agar jumlah deviden yang akan didapat Inalum tidak berkurang. Ini lantaran Rio Tinto dengan 40% PI berhak atas 40% produksi PTFI. Setelah divestasi selesai, maka Rio Tinto tidak akan lagi mendapatkan produksi sesuai kontraknya hingga 2041.
"Setelah 2022, 40% produksi dari Grasberg diambil mereka. Jadi contohnya tambang Grasberg produksi 100 juta ton, 40 juta ton langsung diambil Rio Tinto. 60% diambil pihak Indonesia sama FCX terefleksi dalam bentuk dividen. Jadi bisa dibayangkan kalau tidak diselesaikan, pendapatan negara akan sangat jauh berkurang,"imbuhnya.
Dengan begitu, Inalum tidak perlu mengakusisi saham Freeport McMoran di PTFI karena akan mengurangi deviden. Perhitungannya seperti ini, setelah mendapat 51% saham PTFI, bagian pemerintah dan Freeport McMoran akan dipotong sebesar 40%, maka Indonesia hanya mendapatkan 31% produksi dan Freeport 29% produksi.
"Maunya kami itu kan membeli saham FCX plus menyelesaikan Rio Tinto. Kalau 51% di equity interest, 51% juga di economic interest," kata Rendi.
Lebih lanjut Rendi mengklaim secara keuangan Inalum mampi menyelesaikan divestasi 51% saham PTFI. Dalam kinerja keuangan 2017 audited, holding pertambangan memiliki dana tunai sebesar Rp 16 miliar.
Sementara, pada kuartal I-2018 memiliki dana tunai mencapai Rp 20 triliun. "Jadi kami punya kemampuan secara cash flow untuk lunasi utang untuk membeli saham ini," ujar Rendi.
Di sisi lain, Rendi juga mengklaim Inalum mendapatkan penawaran pinjaman dari bank-bank asing untuk bisa melunasi pembelian 51% saham PTFI. Bahkan Rendi menyebut jumlah penawarannya melebihi dana yang dibutuhkan untuk divestasi 51% saham PTFI sebesar US$ 3,85 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News