Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah PT PLN (Persero) mencatatkan kerugian tahun berjalan di periode Kuartal I-2020, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) meminta PLN dan pemerintah untuk merombak tata cara perencanaan dan pengelolaan kelistrikan.
Menurut Peneliti IEEFA Elrika Hamdi, PLN dan pemerintah perlu menunda atau bahkan membatalkan pembangkit-pembangkit berkapasitas besar yang tidak fleksible. Sebab, Elrika menilai bahwa pembangkit jenis ini hanya akan mendatangkan beban take or pay bagi PLN.
Terkhusus, bagi pembangkit di wilayah Sistem Jawa-Bali yang saat ini sudah kelebihan pasokan listrik. "PLN juga perlu melihat kemungkinan untuk melakukan decommissioning pembangkit-pembangkit yang tua dan tidak efisien. Demi kesehatan keuangan PLN," kata Elrika melalui keterangan tertulis sebagaimana yang dikutip Kontan.co.id, Selasa (16/6).
Baca Juga: PLN pilih opsi smart meter untuk menggantikan meteran mekanik
Dalam catatan Kontan.co.id, PLN menanggung rugi tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 38,88 triliun selama kuartal I tahun ini. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu mereka masih untung Rp 4,14 triliun.
Dalam tiga bulan pertama tahun ini, sebenarnya pendapatan usaha PLN naik 5,48% year on year (yoy) menjadi Rp 72,70 triliun. Penjualan tenaga listrik mendominasi hingga Rp 70,25 triliun. Sisa pendapatan berasal dari penyambungan pelanggan dan lain-lain.
Namun, beban usaha membengkak sampai Rp 78,79 triliun. Pada saat yang sama, PLN mencatatakan kerugian kurs mata uang asing bersih senilai Rp 51,97 miliar. Alhasil subsidi listrik pemerintah sebesar Rp 12,89 triliun tak bisa menyelamatkan kinerja bottom line.
Baca Juga: Pengamat: Penggunaan smart meter harus dikedepankan oleh PLN