kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investasi energi baru terbarukan (EBT) berpeluang meningkat, berikut pendorongnya


Kamis, 29 Juli 2021 / 06:45 WIB
Investasi energi baru terbarukan (EBT) berpeluang meningkat, berikut pendorongnya


Reporter: Filemon Agung | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) optimistis investasi sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) dapat meningkat seiring upaya perbaikan regulasi yang dilakukan.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan, saat ini sejumlah regulasi tengah disiapkan demi mendorong pemanfaatan EBT.

Tercatat, setidaknya ada 4 regulasi yang tengah berproses, antara lain; kebijakan harga jual listrik EBT melalui Rancangan Peraturan Presiden, Revisi Peraturan Menteri PLTS Atap, Permen tentang cofiring dan Refused Derived Fuel (RDF) serta RUPTL 2021-2030 yang masih dalam penyusunan.

"Revisi RUPTL oleh PLN sedang dalam proses persetujuan di Menteri ESDM yang akan lebih banyak proyek listrik EBT," ujar Dadan kepada Kontan.co.id, Rabu (28/7).

Asal tahu saja, investasi EBTKE hingga semester I 2021 mencapai US$ 1,07 miliar. Raihan ini mencapai sekitar 52,79% dari target tahun ini sebesar US$ 2,04 miliar.

Baca Juga: Realisasi investasi energi baru terbarukan capai US$ 1,07 miliar di semester I-2021

Sebelumnya, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengungkapkan porsi bauran EBT diprediksi bakal mencapai 46% dalam RUPTL terbaru. Jumlah itu meningkat dari porsi saat ini yang sebesar 30%.

"RUPTL sedang kami susun dan diharapkan selesai di Agustus dan (komposisi EBT) lompat ke 46%," jelas dia dalam diskusi Indonesia Green Summit 2021, beberapa waktu lalu. 

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengungkapkan, penyusunan RUU EBT kini telah memasuki babak baru. Per 1 Juli 2021 Komisi VII telah menyerahkan hasil pembahasan RUU EBT ke Badan Legislasi DPR RI.

"Sudah selesai di level Komisi VII, kita serahkan ke baleg untuk di harmonisasi terutama terkait struktur perundangan," kata dia.

Sugeng melanjutkan, RUU EBT diharapkan dapat rampung pada akhir tahun ini.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan, tren investasi di EBT sejatinya mengalami penurunan.

Selain itu, kontribusi terbesar sejak 2015 adalah investasi untuk panas bumi dan hidro (air). Ini dikarenakan kedua jenis energi terbarukan tersebut yang mendominasi dalam susunan RUPTL PLN.

Kendati demikian, Fabby optimistis investasi EBT dapat semakin meningkat pada tahun depan seiring prospek RUPTL serta mulai konstruksinya sejumlah proyek listrik.

"Banyak perusahaan minat ke bisnis energi terbarukan serta proyek-proyek besar mulai konstruksi di 2022. Dengan kondisi yang membaik pasca Covid-19, potensi investasi bisa US$ 3 miliar hingga US$ 3,5 miliar," terang Fabby.

Komitmen menggenjot EBT turut disampaikan sejumlah perusahaan energi. Dalam catatan Kontan.co.id, Pertamina yang menganggarkan sekitar US$ 8 miliar untuk investasi EBT pada kurun 2020 hingga 2024.

Proyek-proyek yang disasar pun mayoritas ada di sektor panas bumi. 

Baca Juga: Perusahaan tambang batubara gencar menggarap proyek hilirisasi dan energi hijau

SVP Downstream, Gas, Power, NRE Business Development & Portofolio Pertamina, Aris Mulya Azof mengatakan, Pertamina, masih mempunyai banyak wilayah kerja panas bumi.

Untuk itu, Pertamina menargetkan bisa meningkatkan kapasitas Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) dari semula 672 Mega Watt (MW) menjadi 1.128 Mega MW pada tahun 2026 nanti.

“Pertamina sudah cukup lama mempunyai keahlian dan kemampuan di bidang panas bumi ini dan Pertamina juga mempunyai banyak wilayah kerja panas bumi,” kata Aris.

Menurut Aris, program pengembangan panas bumi ini merupakan salah satu bagian dari rencana jangka panjang pengembangan energi baru terbarukan (EBT) perusahaan.

Sementara itu, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini menyebutkan, pengembangan EBT sebaiknya memperhatikan tiga hal utama. Pertama, keselarasan supply dan demand.

"Artinya jika di suatu daerah supply listrik sudah lebih (oversupply) kami tidak bangun EBT di sana," ujarnya baru-baru ini.

Persoalan oversupply listrik ini ditambah juga dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini yang menyebabkan permintaan turun. Oleh karenanya pengembangan EBT di tiga Jawa, Sumatera, dan Kalimantan akan sangat terbatas.

Kedua, akselerasi pengembangan EBT di daerah yang defisit. "Daerah defisit di Indonesia masih ada di Sulawesi, Maluku, Papua, dan beberapa daerah lainnya. Kami sedang berupaya membangun EBT di sana," kata Zulkfili.

Baca Juga: Kembangkan energi bersih, Pertamina alokasikan US$ 8 miliar

Zulkifli mengatakan akselerasi pengembangan pada daerah defisit serta daerah yang menggunakan BBM impor sebagai bahan bakar PLTD. Hal ini dinilai merupakan langkah strategis baik dari sisi bisnis PLN maupun mengurangi belanja negara di sektor BBM.

Ketiga, sistem kelistrikan dengan reserve margin besar yang perlu menimbang harmonisasi supply demand, peran serta dukungan pemerintah, stakeholder dalam menumbuhkan iklim investasi di bidang industri. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatan demand dan pertumbuhan ekonomi. 

Selanjutnya: Buka peluang startup teknologi tercatat di Papan Utama, BEI tunggu persetujuan OJK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×